Penilaian tersebut dilontarkan Albert Kuhon, pengendara yang menolak membayar sidang tilang di PN Jakarta Timur, Jumat pekan lalu.
“Sekarang banyak sekali yang disidang. Ribuan (jumlahnya). Hakim tidak mungkin mengecek apa benar identitas KTP dengan orang asli. Makanya banyak joki,“ kata Albert di Gedung Dewan Pers, Jl Kebon Sirih, Jakarta, Kamis (4/7/2011).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Haruslah dirubah hukum acaranya. Kalau begini ya akan terus-terusan semrawut,“ tandasnya.
Albert ditilang pada Kamis (14/7/2011) siang, saat dirinya tengah berkendara dari arah Cawang menuju arah Tanjung Priok. Saat mobil yang dikendarainya berada di perempatan Jl Pramuka-Jl Pemuda, petugas kepolisian yang ada di sebelah kiri kendaraan memintanya untuk terus maju meski lampu menandakan berhenti.
"Tetapi sekitar 20-30 meter kemudian saya diberhentikan petugas polisi lain dan ditilang," tutur Albert.
“Saya bilang, eh teman kau bilang suruh maju. Hukum acara juga menyatakan kalau lampu menyala merah tetapi disuruh maju, ya bukan pelanggaran,“ tandas Albert.
Ternyata polisi di lapangan tidak menanggapi dan menjawab pendek,“ Bapak bisa datang ke sidang nggak? Silahkan jelaskan disana,“ ucap Albert menirukan si polisi.
Di persidangan, Albert menyangkal semua kesalahan seperti tertulis dalam surat tilang. Hakim Edi Subroto lalu menunda sidang 2 pekan untuk memanggil polisi si penilang untuk memberi keterangan.
Cerita joki atau calo sidang tilang merupakan cerita lama. Mereka menawarkan jasa sidang tilang dengan memungut biaya jasa sekitar Rp 20.000 hingga Rp 30.000. Statusnya yang ilegal membuat praktik calo tilang membuka praktik dengan sembunyi-sembunyi. Terkadang juga tampil secara terbuka dengan mencegat pengendara yang hendak parkir di area pengadian dan langsung menawarkan jasanya.
“Saya ingin mengikuti sidang sendiri. Penasaran bagaimana sih sidangnya,“ tukas Albert.
(Ari/lh)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini