"Dari 285.184 perceraian di seluruh Indonesia, 59 persen diajukan oleh istri, 29 persen oleh suami dan sisanya oleh pihak lain," ujar Mahkamah Agung (MA) dalam release yang diterima detikcom, Rabu, (3/7/2011).
Badan Peradilan Agama MA (Badilag MA) menyebutkan, permohonan gugatan cerai yang dilayangkan pihak istri sebanyak 190.280 kasus perceraian. Sedangkan yang dilayangkan oleh laki-laki hanya setengahnya yaitu 94.099 kasus perceraian.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menanggapi data tersebut, psikolog forensik Universitas Bina Nusantara (Binus), Jakarta, Reza Indragiri Amriel, menilai gerakan emansipasi mendorong perempuan lebih berani mengajukan gugatan cerai. Sayangnya, gerakan ini mengakibatkan pandangan bahwa perceraian sebagai solusi atas permasalahan ketidakharmonisan keluarga.
Padahal, beberapa periode lalu perceraian masih dianggap sebagai puncak kegagalan berumah tangga. "Sekarang, kalau ada masalah, sedikit-sedikit perempuan memilih cerai. Seperti artis Titi DJ, karena tidak cocok, maka langsung pilih cerai. Ini miris sekali," tutur Reza yang dihubungi melalui telepon.
Sebagai akibatnya, saat ini laki-laki menilai perceraian adalah hal sepele. Laki-laki sudah tidak terlalu pusing memikirkan perceraian karena perceraian menjadi kewajiban hukum belaka.
"Tapi yang sekarang lebih dipikirkan laki-laki adalah pasca cerai yaitu perebutan hak asuh anak. Ini yang menyebabkan laki-laki berpikir panjang untuk bercerai," punkas Reza.
(asp/lh)