Pendapat tersebut dikemukakan oleh tim pengkaji cagar budaya yang terdiri pakar universitas dan unsur luar. Mereka adalah Prof Eko Budiharjo (Undip Semarang), Sudharmono SU dan Bambang Triratma (UNS Surakarta), Dr Amiluhur Soeroso dan Sektiadi (UGM Yogyakarta) dan Gutomo (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah.
"Bekas pabrik es Saripetojo hanya kuat di aspek kesejarahan. Padahal untuk bisa disebut cagar budaya, tak hanya aspek itu yang dipertimbangkan," kata ketua tim pengkaji cagar budaya, Prof. Eko Budihardjo, di kediamannya, Kawasan Jatingaleh, Semarang, Jumat (8/7/2011).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Eko yang didampingi Prof Totok Rusmanto mengatakan sebenarnya ada tiga bangunan menonjol, yakni bangunan pabrik, rumah dinas, dan tower di kompleks pabrik Saripetojo. Namun penilaian terhadap ketiganya tidak boleh disatukan.
"Rumah dinasnya memang layak ditetapkan sebagai cagar budaya. Tapi bangunan pabrik dan tower tidak cukup layak, karena tidak memiliki keunikan arsitektural dan nilai estetikanya tidak menonjol," kata mantan Rektor Undip ini.
Mengutip narasi kesejarahan, Eko menjelaskan pabrik Saripetojo dibangun pada tahun 1888 tapi sudah beberapa kali direnovasi, terutama setelah terbakar pada 1953. Gedung itu kemudian dibangun lagi pada tahun 1959 dan baru selesai pada 1961.
Meski bukan termasuk cagar budaya, bangunan rumah dinas yang ada di kompleks Saripetojo harus tetap dipertahankan keasliannya. Pasalnya bangunan itu memiliki model arsitektur yang khas, bergaya Indische. Ini dijadikan "tetenger" bagi Kota Solo. Sementara, untuk bangunan pabrik dan tower, bisa direvitalisasi..
Bekas pabrik es Saripetojo jadi sengketa antara Pemprov Jateng dan Pemkot Solo. Pemprov Jateng hendak membongkar bangunan itu dan menjadikannya mal. Sementara Pemkot Solo tidak ingin bangunan itu dibongkar, karena menilai bangunan itu cagar budaya. Kalau pun dibongkar, bangunan itu akan dijadikan pusat ekonomi tradisional.
(try/aan)