Guru Swasta, Antara Realita dan Kebutuhan Hidup

Guru Swasta, Antara Realita dan Kebutuhan Hidup

- detikNews
Kamis, 07 Jul 2011 13:21 WIB
Jakarta - Pendapatan para guru setiap bulan dari hasil mengajar di sekolah swasta ini terbilang mencengangkan. Jauh dari Upah Minimun Kota/Kabupaten laiknya guru Pegawai Negeri Sipil. Namun mereka tetap bertahan menggeluti profesi guru dan menyiasatinya dengan bekerja sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidup harian.

"Menjadi guru itu kebanggaan karena dia penjaga 4 pilar bangsa, walau bagaimanapun kondisinya kita tetap mencintai profesi ini," kata Ketua Presidum Persatuan Guru Swasta Indonesia (PGSI) Fatah Yasin, kepada detikcom.

Pernyataan itu disampaikan Fatah sesaat sebelum pelangsungan acara Deklarasi PGSI, di Tugu Proklamasi, Jl Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (7/7).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Fatah (43) merupakan guru SMK Diponegoro, Tegal. Dia sudah mengajar di sekolah itu sejak tahun 1995. Upah bulanan yang diterimanya bergantung dari jam pelajaran yang dilakoninya. Dalam sebulan dia bisa mencapai kuota mengajar selama 20 jam. Tiap jam diberikan konpensasi Rp 18 ribu.

Sedikit beruntung, Fatah didaulat menjadi wali kelas sehingga mendapat konpensasi tambahan sebesar Rp 80 ribu.

"Total yang dibawa pulang Rp 640 ribu. Itu dari uang mengajar, tunjangan wali kelas dan Rp 200 ribu tunjangan dari pemda," kata Fatah.

Fatah harus menghidupi 2 orang anak yang berusia 1 dan 2 tahun, serta seorang istri yang pernah berprofesi sebagai guru TK dengan gaji Rp 75 ribu perbulan. Gaji yang diterima Fatah jelas tidak cukup untuk memberi nafkah seisi rumah dalam sebulan.

"Saya dagang. Dagang cor logam kuningan di Tegal, Brebes, Semearang," ujarnya.

Kalau lagi hoki, pendapan satu bulan dari usaha cor logam mampu melebihi gaji gurunya perbulan. "Tapi enggak setiap bulan, tergantung situasi saja," katanya tertawa.

Sama halnya dengan Fatah. Sodiq Pramono (47) yang merupakan guru SMA Islam Temanggung ini mengajar sejak 24 tahun lalu. Gaji yang diterima juga bergantung dari jumlah jam mengajar dalam sebulan, yaitu sebanyak 24 jam dengan konpensasi per jam sebesar Rp 15 ribu.

"Kalau ada apa-apa sama anak-istri ya terpaksa harus gali lobang tutup lobang," kata Sodiq kepada detikcom.

Total sebulan dia dapat membawa pulang Rp 600 ribu. Itu didapat dari perhitungan jam mengajar dan tunjangan pemda setempat.

"Nambah-nambah kebutuhan saya kerja kontraktor, itu juga enggak selalu ada," kata Sodiq.

Dia tidak merinci pekerjaan kontraktor macam apa yang dia tekuni untuk tambal sulam kebutuhan agar dapur tetap mengepul. "Malu saya, mas. Pokoknya Kontraktor saja, lah," katanya.

Baik Fatah atau Sodiq, mereka berharap pemerintah turut memperhatikan nasib guru swasta. Mereka menilai pemerintah melulu memperhatikan guru-guru PNS yang berpenghasilan jauh dari pendapatan keduanya.

"PGSI dibentuk untuk menyeimbangi organisasi guru PGRI yang selalu berpihak kepada guru PNS. Kita berharap diskriminasi guru swasta dapat diperjuangkan di sini (PGSI)," ujar Fatah.

Saat ini PGSI berhasil merangkul 12 provinsi untuk bergabung di PGSI, mereka antara lain terdiri dari perweakilan dari Pulau Sumatra, Jawa, dan Kalimantan. "Ke depan kita akan merangkul yang di Sulawesi dan Papua," kata Fatah.

(ahy/gah)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads