"Sebaiknya yang seperti itu (curhat) dihentikan saja. Karena ini adalah politik pencitraan dan masyarakat sekarang sudah sadar ditipu politik pencitraan, politik persepsi," kata analis politik dari Undip M Yulianto dalam perbincangan dengan detikcom, Senin (27/6/2011).
Menurutnya, hingga Pemilu 2009 lalu, elektoral masih dikendalikan persepsi citra publik dengan kekuatan media dan kekuatan publik. Puncak dari politik pencitraan adalah publik yang merasa tertipu. Padahal kepemimpinan sejati tidak memerlukan politik pencitraan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yulianto yakin, dengan pendidikan politik yang riil dan pemberian wacana yang jujur, simpati publik dapat diraih. Hal itu diperlihatkan Presiden AS, Barack Obama yang pernah dengan jujur menyampaikan kala masih muda dirinya pernah merokok dan memakai narkoba.
"Tidak harus tampil sempurna. Kalau semua dipersepsikan sempurna, ketika gagal maka kecewa semua. Ini adalah komunikasi politik yang membohongi," ucap dia.
Dia berpendapat, dari segi pendekatan kepemimpinan, SBY merupakan publik figur yang tidak punya ketegasan, keberanian dan lemahnya integritas. Menurut pemikiran sosiolog asal Norwegia, Johan Galtung, untuk menghadapi negeri yang carut marut maka seorang pemimpin harus memiliki tiga hal.
Pertama, good will atau niat baik. Niat baik ini harus kuat mengakar. Dari kasus SBY, niat baiknya, menurut Yulianto, disandera kepentingan pragmatis dirinya di Demokrat dan di koalisi.
"Presiden sepertinya takut nyanyian korupsi oleh Nazaruddin, padahal janjinya adalah menjadikan dirinya sebagai garda depan pemberantasan korupsi. Niatan yang baik ini saya rasa tidak cukup kuat," tutur Yulianto.
Kedua, courage atau keberanian. Di mata Yulianto, SBY tidak cukup memiliki keberanian dalam memgambil keputusan penting. Hal itulah yang kemudian menimbulkan kesan ragu-ragu dalam diri SBY.
"Padahal SBY adalah perwira tinggi, jenderal besar. Intelektual tinggi yang dimilikinya karena memiliki gelar doktor tidak mendorong kepemimpinan kuat. Pendidikan dan pengalaman militer tidak mendorong keberanian kuat serta birokrasi yang bersih dan jujur," papar dia.
Ketiga, integritas. Integritas pribadi pemimpin ini tercermin dalam diri pribadinya, di kelompok, serta partai pendukung. Belakangan citra Demokrat terpuruk akibat mencuatnya kasus Nazaruddin.
"Publik melihat tidak ada ketegasan. Kelas menengah menjadi pesimistis dan bahkan ada yang kemudian tidak hormat. Padahal integritas merupakan salah satu hal mendasar di kepemimpinan," ucap Yulianto.
Menurut survei LSI, dibandingkan dengan Januari 2011, kepuasan publik atas kinerja SBY di Juni 2011 ini turun 9,5 persen, yakni dari 56,7 persen ke 47,2 persen. "50 persen itu batas mayoritas. Kalau di bawah 50 persen ini berarti sudah critical time buat SBY," kata peneliti senior LSI, Sunarto Ciptoharjono, Minggu (26/6).
Merosotnya kepuasan publik atas kinerja SBY menyebar ke aneka ragam segmen. Kepuasan pemilih atas kinerja SBY di kota lebih kecil (38,9 persen) dibandingkan di desa (52,5 persen). Kepuasaan kinerja SBY di kalangan pendidikan tinggi juga lebih kecil (39,5 persen) dibanding di kalangan pendidikan SMP ke bawah (di atas 50 persen).
Survei ini dilakukan di lapangan dari tanggal 1 Juni-7 Juni 2011. 1.200 Responden dipilih secara acak yang mewakili 33 provinsi, disurvei dengan metode wawancara tatap muka. Margin of error plus minus 2,9 persen.
LSI mengaku survei yang dilakukannya tanpa pesanan pihak mana pun. Ada pun pembiayaan diambil dari anggaran LSI, yang memang dialokasikan khusus dari hasil profit.
(vit/fay)