Hingga saat ini, lebih kurang 617 WNI sudah dievakuasi dari Libya, di mana 261 TKI di antaranya adalah TKI yang terdiri dari 141 orang perempuan dan 120 orang laki-laki. TKI terakhir yang diselamatkan adalah Nurhayati Binti Mamad, asal dari Cianjur, Jawa Barat. Ia dibawa tim evakuasi masuk ke wilayah Tunisia pada Minggu 19 Juni pukul 14.00 waktu setempat.
Akan tetapi, Tim Evakuasi KBRI Tunis mensinyalir masih banyak TKI yang terjebak konflik berdarah di Libya. Paling banyak, para TKI tersebut tinggal bersama majikan mereka di Tripoli, ibu kota negara kaya minyak itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan keterangan Yazid selama ini, diketahui setidaknya ada dua kendala yang membuat evakuasi TKI mengalami kesulitan. Pertama, eskalasi konflik di Libya yang terus meningkat. Gencarnya serangan NATO terhadap pasukan Kadhafi membuat kondisi keamanan di Tripoli dan kawasan Libya lainnya secara umum semakin memburuk.
"Serangan NATO semakin gencar dan pemboman yang pada serangan-serangan sebelumnya dilakukan pada malam hari kini tidak memilih waktu lagi. Sebelumnya pemboman bisa terjadi 6-7 kali dalam sehari, namun kini tak kurang dari 20 kali pemboman terjadi setiap hari," ucap Yazid.
Kondisi keamanan di kawasan barat Libya, yang biasa dilalui para TKW jika ingin menyelamatkan diri ke Tunisia melalui pintu perbatasan Ras Jedir, semakin tidak menentu. Penjagaan di check point dan pemeriksaan di perjalanan antara Tripoli ke Ras Jedir semakin ketat. Rombongan TKW mengalami tak kurang dari 20 kali pemeriksaan sebelum tiba di perbatasan.
"Mereka diberhentikan dan diperiksa paspornya. Rombongan mengalami penggeledahan bagasi dan seluruh mobil diperiksa. Dua orang TKW terpaksa mengikhlaskan telepon genggamnya diambil oleh petugas check point. Mereka juga ditanyai jika membawa uang dolar, namun mereka mengaku tidak punya uang," katanya.
Belakangan, proses evakuasi makin dipersulit karena tiadanya sopir yang mau mengantar para TKI ke perbatasan Libya-Tunisia. Untuk mengatasinya, KBRI Tunis mengangkat Muhammad Abdelhafiz (60), seorang warga negara Libya sebagai tenaga honorer untuk mengantar. Pria tersebut juga merupakan pemilik gedung yang disewa KBRI Tripoli, yang telah ditutup beberapa bulan lalu.
Kesulitan yang kedua adalah rata-rata majikan Libya enggan melepaskan para TKI untuk pulang ke Indonesia. Mereka menjanjiian akan menaikkan gaji sebanyak 2 kali lipat atau sampai 500 dollar Libya para TKI agar mau tinggal. Namun, iming-iming tersebut ditolak. Sebagian TKI bahkan ada yang mengancam mogok makan hingga bunuh diri agar dilepas oleh majikannya.
"Menurut penuturan para TKW, situasi di Libya semakin mencekam. Sehari-hari mereka merasakan ketakutan yang sangat. Beberapa di antara mereka mogok makan dan bahkan mengancam bunuh diri agar majikan mau menyerahkan mereka ke KBRI," ucap Yazid, Rabu (15/6), lalu.
Para TKI yang berhasil menembus perbatasan Libya-Tunisia ditampung untuk sementara di kantor KBRI Tunis. Sebagian di antara mereka sudah dipulangkan lebih dulu ke Indonesia. Misalnya, pada pada 11 Juni lalu, KBRI Tunis memulangkan 5 TKW eks Libya.
Namun, KBRI Tunis rupanya juga mendeteksi adanya TKI yang nekad ingin kembali ke Libya. Biasanya, TKI ini dibawa keluar Libya oleh majikannya sendiri. Sehingga ketika majikan kembali ke Libya, TKI yang bersangkutan juga ikut lagi ke wilayah konflik. Untuk mengantisipasi ini, KBRI Tunis telah menyiapkan antisipasi.
"Untuk mengantisipasi kembali masuknya WNI ke Libya di tengah suasana di negara tersebut yang terus memburuk, KBRI Tunis melakukan langkah-langkah antisipasi dengan menyiapkan staf yang berkoordinasi dengan otoritas Pos Perbatasan Ras jedir dan Dehibat untuk melacak kemungkinan datangnya WNI di kedua pintu perbatasan tersebut.
(irw/lni)