Susahnya Mencari Hakim yang Mempunyai Integritas

Susahnya Mencari Hakim yang Mempunyai Integritas

- detikNews
Senin, 06 Jun 2011 07:29 WIB
Jakarta - Tuntutan hakim yang harus bersifat adil dan berwibawa bukan perkara mudah. Dari berbagai catatan sejarah, mencari hakim sebagai β€œrepresentasi Tuhan” ternyata susah di cari. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai belahan negara lain di seluruh dunia.

"Kesulitan mencari hakim tidak hanya terjadi di Indonesia. Amerika Serikat pernah mengalami keterbatasan jumlah hakim sejak usainya Perang Sipil di negara itu," kata ahli psikologi forensik, Reza Indragriri Amriel saat berbincang dengan detikcom, Senin, (6/6/2011).

Adapun di Cina, pencarian hakim yang mempunyai integritas telah dirintis sejak era Dinasti Han (206 SM- 220 M) dengan melakukan tes ulang setiap 3 tahun. Hal ini untuk memastikan derajat kelayakan para pemangku jabatan kunci di Negeri Panda tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Bagaimana dengan Indonesia? Kesulitan utama yaitu bersumber dari tidak adanya model kompetensi yang menjadi acuan terhadap karakter ideal seorang hakim," terang staf pengajar Universitas Bina Nusantara (Binus), Jakarta ini.

Lebih lanjut dia menjelaskan, permasalahan pertama di Indonesia yaitu catatan kriminal yang dimiliki negara atas warganya tidak tersedia dengan baik. Selain itu, berbagai metode penilaian tidak bisa membedakan antara individu yang berintegritas tinggi dan individu berintegritas rendah.

"Ringkasnya, integritas hanya ada pada tataran konseptual. Kenyataannya, hanya Tuhan dan si individu yang tahu persis kadar integritasnya," ujar alumnus The University of Melbourne ini.

Kedua, sesuai riset United Nations Office On Drugs and Crime (UNODC) pada 2006, saat ditanyakan syarat integritas hakim kepada para hakim, mereka menjawab dimulai dengan menambah jumlah hakim.
Padahal, banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa kualitas lembaga kehakiman tidak dipengaruhi oleh jumlah aparat peradilan.

Survei yang diselenggarakan Bureau of Labor Statistics di Amerika Serikat terhadap para hakim pada 2005, mencatat 33 disiplin ilmu yang dinilai vital untuk dikuasai hakim. Mulai dari bidang hukum dan pemerintahan (99%) hingga pengetahuan produksi pangan (3%).

"Di Indonesia, tuntutan penguasaan keilmuwan yang variatif seperti atas jelas sukar dipenuhi. Oleh karena itu, sesuai studi UNODC (2006), yang lebih dapat diupayakan adalah hakim menguasai spesialisasi materi tertentu," beber Reza.

Yang terakhir, para hakim harus dikenakan penilaian secara berkala. Dalam data statistik UNODC, persepsi publik terhadap kemandirian lembaga peradilan muncul ketika instansi peradilan menyelenggarakan proses inspeksi dan evaluasi kinerja dengan frekuensi tinggi.

"Oleh karena itu, ke depanmya perlu dirumuskan acuan kinerja dan perangkat aturan organisasi lainnya sebagai pedoman pengembangan karir para hakim," tuntas Reza.

(asp/mad)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads