Cinta Indonesia-Swiss Bersemi di Facebook

Cinta Indonesia-Swiss Bersemi di Facebook

- detikNews
Kamis, 19 Mei 2011 11:31 WIB
Jakarta - Angin Pantai Kuta, Bali berhembus sepoi-sepoi. Di bawah bulan yang nyaris sempurna, Althea Sutedjo atau biasa dipanggil Pipit (36) memulai cerita bahagia itu. "Dua bulan lagi, kami menikah," kata Pipit kepada detikcom di Pantai Kuta, Bali, Rabu, (17/5/2011).

Pipit, perempuan asal Guntur, Setiabudi, Jakarta Selatan, akan menikah dengan tambatan hatinya, Sven Bader (34) pria Schinznach-Dorf, Swiss, tahun ini. Pipit mengenal Sven Bader lewat fasilitas perkenalan di Facebook. Dari dunia maya, keduanya kemudian berkomunikasi intensif, dari telepon, SMS, chatting, hingga janji bertemu.

Cukup 2 kali pertemuan bagi Pipit dengan Sven Bader untuk memantapkan hati memasuki pelaminan. Setelah pertemuan ke 3, lamaran pun datang. Pertemuan ke 4 semua seakan menjadi ringan melangkah. "Pada pertemuan ke 3 saya dilamar, pertemuan ke 4 menentukan hari perkawinan," kata Pipit sambil menatap laut luas.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Rencananya sejoli beda ras dan beda negara ini akan menikah di Gereja Ignatius Loyola di Menteng dan menggelar resepsi di Alexandra's House di Kemang. Pernikahan sakral keduanya akan menjadi sejarah yang tak akan terlupakan.


Segala persiapan sudah dilakukan Pipit dan Sven Bader. Rencananya, Sven akan datang bersama 10 anggota keluarga besarnya. Lantas, pakai baju apa mereka? "Adat Jawa. Saya memakai kebaya, dia beskap. Orangtuanya juga. Bukan saya yang memilih, tapi Sven sendiri yang ingin memakai adat Jawa ini,” kisah Pipit yang tidak pernah melepas senyum bahagianya.


Perkenalan Via Facebook

Awalnya, Pipit iseng menggunakan fasilitas perkenalan di Facebook pada 2008 . Dalam kurun satu bulan, perempuan asal Guntur, Setiabudi, Jakarta Selatan ini meng add dan meng approve 100 orang baru yang dikenalnya. "Satu yang harus disiapkan dalam perkenalan dunia maya yaitu harus mempersiapkan mental untuk hal terburuk," ungkap mantan Guru Bahasa Inggris terbaik se Jakarta ini memberikan tips.

Dari ratusan perkenalan orang antah berantah tersebut, tidak serta merta dia menemukan tambatan hati. Pernah sekali dia berkenalan dengan orang yang memasang foto tampan, tapi ternyata saat chating webcamp orang tersebut kakek-kakek. Juga pernah dia diajak chating mesum atau di kirim pesan seronok.

"Kalau sudah kayak gitu, langsung cut aja pertemanannya," terang perempuan keturunan Semarang-China ini.

Dalam satu waktu, dia bisa chat dengan puluhan teman barunya tersebut. Ada yang bertahan lama, ada yang sebentar. Jika sudah cukup lama, chating di facebook pindah ke YM. Lalu menggunakan webcamp dan seterusnya.

"Dalam satu waktu, chating dengan puluhan orang. Boleh dong, selama belum ter lock, boleh tengok kanan-kiri dulu," cerita Pipit seraya memainkan pasir putih Kuta.

Setelah beberapa pekan, perkenalan dunia maya Pipit makin mengerucut hingga ke segelintir orang. Dari segelintir orang tersebut, komunikasi meningkat menjadi bertukar no hp, sms hingga telepon. Dan setelah sebulan lebih, diapun di telepon langsung dari Swiss. " Namanya Sven Bader. Di foto, orangnya baik," tutur Pipit dengan mata berbinar.

Pertemuan di Bali dan Swiss

Setelah hampir satu tahun berteman di dunia maya, Pipit dan Sven Bader memilih Bali untuk tempat pertemuan pertama kali. Pertemuan terjadi pada pertengahan 2009 atau setahun setelah perkenalan di Facebook. Bagi Sven, Indonesia adalah negara Asia pertama yang dia kunjungi. Sebagai tamu yang baik, Pipit datang ke Bali beberapa jam sebelum Sven datang. Selanjutnya, Pipit menjemputnya di Bandara I Gusti Ngurah Rai.


Lantas bagaimanakah perasaan Pipit saat pertama bertemu? "Saat bertemu pertama kali, dalam hati langsung bilang ternyata dia sesuai yang di foto, tidak mengecewakan," Β terangnya.

Pada proses pertemuan pertama itulah, Pipit harus menyiapkan diri untuk mengambil risiko, jalan terus atau selesai di pertemuan pertama. Penyesuaian, demikian Pipit meminjam istilah untuk hal itu. Selama pertemuan pertama yang berlangsung selama 3 minggu, interaksi muncul. Baik secara emosial atau psikologis.

"Kalau di chatting kan kita nggak bisa tahu emosi, bagaimana Β saat marah, bete dan sebagainya. Pada proses penyesuaian inilah ketahuan ternyata dia childish. Dia juga sempat mutung. Selama 3 minggu itu tidak hanya ke Bali tapi juga ke Lombok, Gili Terawangan dan lainnya," terang dia.

Usai pertemuan pertama, mereka kembali berpisah jutaan mil. Saat itu, cinta belum tumbuh di hati keduanya. Hingga undangan balik ke kota kecil di Swiss Sven, Schinznach-Dorf pada natal 2009.

Mulailah pertemuan Pipit dengan keluarga Sven. Ayah Sven bekerja sebagai tukang gigi bersertifikat, sedangkan ibunya ibu rumah tangga. Kakak Sven telah berkeluarga dan tinggal di luar kota. Sedangkan Sven sendiri bekerja di sebuah percetakan dan tinggal di sebuah apartemen.

"Semua menyambutku dengan hangat. Mereka orang terpelajar sehingga bisa memahami perbedaan. Dan tidak ada pandangan SARA sama sekali dari mereka ke saya. Biasanya kan orang Eropa melihat negatif terhadap orang Asia. Mereka tidak," cerita pipit.

Keluarga Sven sendiri tinggal di kota kecil umumnya Swiss, yaitu di tengah-tengah padang hijau dengan puluhan domba yang diternakkan. Dari domba-domba inilah lalu muncul keju, susu dan lainnya yang terkenal di seluruh antero dunia.

"Mama Sven sangat senang, sedangkan ayah Sven kurang bagus komunikasinya karena tidak bisa berbahasa Inggris, hanya berbahasa Jerman. Tapi dari cerita Sven, ayahnya mendukung," binar Pipit.

Cinta Terus Bersemi


Usai pertemuan ke dua inilah, benih cinta mulai muncul di lubukhati Pipit. Hingga akhirnya harus meninggalkan Swiss. "Dari perpisahan ini, saya mulai merasa kehilangan Sven," terangnya.

Rasa kangen yang menggebu ini terobati ketika Sven datang sendirian ke Jakarta, pertengahan 2010. Pipit pun mengenalkan dengan keluarga besarnya di Guntur, Jakarta Selatan. Ibarat keluarga Sven, keluarga Pipit pun menyambut dengan tangan terbuka. β€œAda bule yang hatinya baik ya,” kata pipit menirukan komentar ibunya.

Pada pertemuan ke tiga ini, Pipit mengajak Sven untuk mengenal Indonesia dengan seutuhnya, baik budaya, adat, masyarakatatau kebiasaan. Di ajaklah Sven keliling Semarang, Yogyakarta, Borobudur, Solo dan lainnya. Pada pertemuan inilah, Sven mengajukan lamaran pernikahan kepada Pipit. β€œOrangnya sangat interested terhadap budaya Indonesia. Dan saya dilamarnya di depan orang tua saya,” ujar Pipit sambil tersenyum.

Karena merasa cocok dan nyaman, lamaran pun diterima. Untuk menentukan keseriusan yang mendalam dan adaptasi budaya, Pipit bertandang lagi ke Swiss pada akhir 2010 selama 3 bulan lamanya. Sebagai guru, dia memilih berkunjung ke negeri Sven Bader saat hari libur sekolah.

Selama 3 bulan itu, dia mulai belajar budaya orang Swiss, makanan, sistem transportasi, tata kota, bahasa dan lainnya. Dari semua perbedaan, hanya satu yang dia tidak bisa terima. "Di Swiss tidak ada kecap kental manis hahaha. Nasi ada, sambel ada, mie instan ada tapi ya itu, kecap yang gak ada," ucap Pipit dengan tertawa lepas. Di pertemuan keempat inilah, Pipit dan Sven Bader menentukan tanggal pernikahan.



Keterbukaan dan Keberanian

Pipit mengaku sebagai orang yang terbuka. Sikap terbuka inilah yang memberanikan Pipit menggunakan fasilitas Facebook, Β areyouinterested. Awal iseng inilah yang membuka semua jalur cinta ini. Padahal, dia cenderung curiga dengan pertemanan dunia maya.


"Kalau mau, saya bisa serius dengan orang Australi, tapi kok kayaknya seru nih dengan facebook. Awalnya ya standar banget, add facebook. Dan tidak ada harapan untuk cari cowok. Ini pertama kali saya menggunakan sarana dunia maya untuk perkenalan," kisah Pipit.

Dunia maya inilah yang harus menyiapkan penggunanya untuk menerima pasangan berbeda sesuai yang dibayangkan. Untuk meyakinkan teman dunia maya, dia menceritakan semua hal tentang dirinya. Baik pekerjaan, situasi rumah, atau situasi masyarakat. Sehingga Sven pun yakin jika dirinya bukan tokoh fiktif. "Pertama kali bertemu orang tuanya takut. Tapi pengalaman hidupku yang naik turun membuatku berani," cerita Pipit.

Salah satu cara untuk menjembatani perbedaan ini lalu dijembati dengan belajar Bahasa Jerman di Goothe Institute, Jalan Sam Ratulangi, Jakarta. "Karena bapaknya tidak bisa bahasa Inggris, cuma bisa bahasa Jerman," kisah Pipit. Β 

Saling sambut dengan kehangatan antar keluarga inilah yang membuat hubungan mereka semakin dekat. Bagi keluarga Pipit, Sven lebih dari baik. "Ya dibanding mantan-mantanku sebelumnya, Sven paling genah (jelas)," tutur Pipit sambil tertawa.


Perbedaan ini malah diterima sebagai sebuah kelebihan. Lihatlah saat Sven yang memilih menggunakan baju adat Jawa, bukan baju modern untuk acara pernikahannya. "Waktu itu dia saya ajak ke keluarga di Solo dan ditunjukan foto pernikahan keluarga saya yang mengenakan baju beskap. Inilah yang menancap ke pemikiran Sven," kisah Pipit.

Rencananya, usai pernikahan keduanya akan honeymoon di Bali. Seluruh keluarga Swiss akan ikut dan menginap di Ubud. Selanjutnya, Pipit akan diboyong ke Swiss.
"Banyak pertimbangan, pertama tidak mungkin dia yang ke Indonesia, pekerjaannya nanti bagaimana. Lalu, di Eropa lebih bagus untuk pendidikan anak. Suhu dingin saya tidak masalah, cuma kecap kental manis yang tidak ada," seloroh Pipit menyudahi pembicaraan.




(asp/asy)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.

Hide Ads