"Jadi beberapa ulat mempunyai eksponensial growth yang berlipat ganda, dari 1 jadi 150, dari 150 jadi 150 lagi. Ini selalu terjadi di alam, ada faktor pembatasnya, seperti kekurangan makanan, iklim. Kalau faktor pembatas terganggu bisa cepat munculnya. Ada yang beberapa tahun bisa muncul, ada yang 6 tahun, ada yang 100 tahun," ujar pakar serangga (entomolog) dari Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada (UGM), Suputa.
Hal itu disampaikan Suputa ketika berbincang dengan detikcom, Rabu (13/4/2011).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dengan pestisida kimia, parasitoid yang makan ulat mati, dan ulatnya lebih tahan daripada musuhnya," ujarnya.
Kemudian penangkapan burung-burung berkicau yang memakan ngengat juga menjadi faktor meningkatnya ulat bulu. "Jadi ulat bulu yang mewabah selama ini menjadi ngengat, bukan kupu-kupu," jelasnya.
Sedangkan pengaruh iklim, sepanjang tahun 2010 musim hujannya panjang. Daun yang menjadi makanan ulat tersedia terus menerus dan berlimpah. Selain itu ditemukan pula, bahwa ulat itu semakin cepat siklus hidupnya.
"Dari penelitian dari larva ke pupa yang seharusnya 9 hari, beberapa ada yang 4 hari, percepatan siklus hidup," jelasnya.
Sementara Dr Ir Toto Himawan SU dari Tim Hama Penyakit Tanaman (HPT) Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya yang meneliti wabah ulat bulu di Probolinggo mengatakan, kasus di Probolinggo dipengaruhi juga abu vulkanik dari Gunung Bromo.
"Satu hal yang berbeda di Probolinggo selain hujan, ada kiriman abu Gunung Bromo. Nah, kemungkinan abu ini sangat menggangu terutama untuk parasit telur (ulat)," jelas Toto.
(nwk/nrl)