Aturan Praktik Penagihan Utang di Indonesia vs AS

Aturan Praktik Penagihan Utang di Indonesia vs AS

- detikNews
Jumat, 01 Apr 2011 16:17 WIB
Jakarta - Banyak kisah korban penagih utang (debt collector) dari yang merasa terteror melalui telepon, hingga main fisik yang berujung pada kematian. Bank Indonesia (BI) mengakui belum ada aturan mengenai praktek penagih utang ini. Lain halnya dengan di Amerika Serikat (AS).

BI mengungkapkan, praktik debt collector itu memang dihalalkan oleh BI. Dengan kata lain, bank sentral tidak mengatur lebih jauh mengenai cara pelunasan kredit dari nasabah kepada masing-masing bank.

"Debt Collector itu tidak diatur oleh BI, karena bank sentral memang tidak mengatur kepada operasional masing-masing bank. Jadi ya tidak dilarang memang," ujar Kepala Biro Hubungan Masyarakat Bank Indonesia Difi Ahmad Johansyah ketika ditemui wartawan di Gedung Bank Indonesia, Jalan MH Thamrin, Kamis (31/3/2011).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun menurut pengacara publik yang kerap menangani kasus perlindungan konsumen David Tobing, aturan penagihan kartu kredit itu sudah ada dalam Surat Edaran Bank Indonesia No 11/10/DASP, tanggal 13 April 2009, khususnya halaman 39 Ayat b, disebutkan bahwa penerbit kartu kredit (bank) harus menjamin bahwa penagihan oleh pihak lain dilakukan dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum.

Dari penelusuran detikcom, SE BI No 11/10/DASP itu tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK) yang mengatur tata cara, syarat serta segala sesuatu menyangkut lembaga penerbit kartu kredit serta hubungannya dengan pihak kedua maupun ketiga. Mengenai penagihan kartu kredit, disebutkan dalam halaman 38, dalam poin 'D. Kerjasama Penerbit dengan Pihak Lain'.

Pada poin 4, disebutkan:

Dalam hal Penerbit menggunakan jasa pihak lain dalam melakukan penagihan transaksi Kartu Kredit, maka:
a. Penagihan oleh pihak lain tersebut hanya dapat dilakukan jika kualitas tagihan Kartu Kredit dimaksud telah termasuk dalam kategori kolektibilitas diragukan atau macet berdasarkan kriteria kolektibilitas sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kolektibilitas;
b. Penerbit harus menjamin bahwa penagihan oleh pihak lain tersebut, selain harus dilakukan dengan memperhatikan ketentuan pada huruf a, juga harus dilakukan dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum; dan
c. Dalam perjanjian kerjasama antara Penerbit dan pihak lain untuk melakukan penagihan transaksi Kartu Kredit tersebut harus memuat klausula tentang tanggungjawab Penerbit
terhadap segala akibat hukum yang timbul akibat dari kerjasama dengan pihak lain tersebut.

Bagaimana dengan di AS?

Paman Sam telah jauh hari menerbitkan aturan baku mengenai tata cara penagihan utang dalam The Fair Debt Collection Practices Act (FDCPA), yang ditambahkan pada tahun 1978. Menurut Wikipedia, FDCPA itu menjadi Bab VIII dari the Consumer Credit Protection Act.

Tujuan dibuatnya FDCPA itu, adalah menghilangkan praktik kekerasan dalam penagihan utang konsumen, dan mempromosikan penagihan utang yang adil dan menyediakan sarana perselisihan konsumen dan penagih utang, melalui validasi informasi utang yang akurat.

Dalam FDCPA, bahkan telah disusun secara rinci bagaimana seharusnya pihak penagih utang berlaku hingga mengambil tindakan hukum pada nasabah, dan bagaimana seharusnya nasabah menghadapi pihak ketiga. Bahkan, ada aturan tegas yang melarang pihak penagih utang melakukan kekerasan, dalam poin '806. Harassment or abuse', disebutkan:

"A debt collector may not engage in any conduct the natural consequence of which is to harass, oppress, or abuse any person in connection with the collection of a debt."

Intinya, seorang penagih utang tidak boleh melakukan, mengganggu, menindas atau melakukan penyalahgunaan sehubungan dengan penagihan utang. Poin itu pun merinci apa saja perilaku yang bisa dikategorikan pelanggaran atas kalimat tersebut.

Ada 6 poin yang perilaku yang dinilai melanggar antara lain, pertama yaitu menggunakan ancaman dengan kekerasan atau cara-cara kriminal yang menghancurkan fisik, reputasi, properti setiap orang.

Kedua, menggunakan kata-kata kotor atau melecehkan bagi pendengar. Ketiga, mempublikasikan dengan orang-orang yang menunggak utang, kecuali dengan syarat-syarat yang sudah diatur.
Β 
Keempat, menerbitkan iklan untuk memaksa pembayaran utang. Kelima, menyebabkan telepon berdering atau melibatkan setiap orang dalam percakapan telepon yang berulang-ulang atau terus menerus dengan maksud untuk mengganggu, pelecehan, atau melecehkan setiap orang.

Nah, akankah BI mengikuti langkah AS yang membuat aturan hukum yang tegas dan rinci mengenai penagihan utang?


(nwk/nrl)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads