Wawancara Imajiner
Pim Fortuyn Tentang Pilpres Indonesia
Jumat, 14 Mei 2004 15:36 WIB
Den Haag - Umat Islam pernah keberatan ketika saya ngomong bahwa Islam is een achterlijke cultuur (Islam adalah sebuah budaya terbelakang). Achterlijk, bisa juga berarti dungu. Tapi saya tidak keliru. Lihat saja di Indonesia.Fortuyn menopang kalimatnya dengan isyarat tangan dan ekspresi tegas ketika menyebut Indonesia. Tokoh politik brilian yang dijuluki Kennedy-nya Belanda itu menyodorkan perilaku elite politik di Indonesia menjelang pilpres, sebagai bukti atas kebenaran pernyataannya.Dilahirkan di Velsen pada 19 februari 1948 dengan nama Wilhelmus Simon Petrus (akrab dipanggil Pim) dari keluarga Fortuyn, tokoh berpenampilan dandy ini sukses menjungkirbalikkan establishment politik Den Haag yang sekian lama didominasi Partij van de Arbeid (Partai Buruh).Dengan kecerdasan optimal seorang politikus dan kepiawaiannya berkomunikasi, Fortuyn menyerap aspirasi rakyat Belanda dan menjadikannya sebagai pisau politik untuk menguliti kinerja Kabinet Ungu pimpinan Partai Buruh, terutama dalam kebijakan suaka/imigrasi, kesehatan, pendidikan, keamanan dan lalulintas. Kebijakan lima bidang itu telah lama menjengkelkan rakyat, namun Den Haag seolah-olah kurang peka. Fortuyn muncul menyuarakan ketidakpuasan itu dan menunjukkan bagaimana kebijakan yang seharusnya. Selain itu Fortuyn juga membombardir dua kultur politik di Den Haag yang tidak disukainya karena dinilai mengkhianati rakyat, yakni achterkamertjes politiek (segala kebijakan ditentukan tertutup antar elite politik tanpa diketahui rakyat) dan koehandel politiek (politik dagang sapi, siapa dapat apa tanpa mempedulikan kepentingan rakyat). Fortuyn menghendaki dua kultur yang mencederai kepercayaan rakyat itu dibabat. Hasilnya, begitu suara Pemilu 2002 dihitung, Partai Buruh rontok dan harus kehilangan kekuasaan yang telah lama digenggamnya. Sedangkan partai Fortuyn, LPF, yang semula tiada alias nol, tiba-tiba melesat ke posisi nomor dua sekaligus masuk ke kokpit kekuasaan. Peristiwa tersebut dicatat sebagai revolusi politik Belanda di abad 21. Kini, Belanda betul-betul telah berubah secara radikal.Fortuyn mengaku kunci suksesnya adalah setia pada aspirasi rakyat dan konsisten memperjuangkannya. "Indonesia juga bisa berubah, jika dua syarat dasar itu ada pada elite pro perubahan. Sayangnya mereka semua achterlijk," katanya. Pria gundul ini ditembak mati pada 6 Mei 2002. Tokoh politik kanan populis kontroversial itu ditembak beberapa saat setelah memberikan wawancara radio di kompleks organisasi penyiaran nasional Belanda di Hilversum.Berikut ini wawancara imajiner detikcom dengan Pim Fortuyn: Anda tetap bersikeras dengan pendapat Islam is een achterlijke cultuur. Bahkan menunjuk Indonesia sebagai contoh. Bisa dijelaskan?Memang achterlijk (terbelakang) kok. Bagaimana tidak achterlijk, jika pemimpin-pemimpin Islam seperti K.H. Hasyim Muzadi, K.H. Solahudin Wahid, Yusril Ihza Mahendra, Amien Rais, K.H. Zainuddin MZ, Hamzah Haz, Hidayat Nur Wahid, dll. tidak bisa kompak bergandengan tangan menghadapi sistem yang dinilai telah gagal?Bagaimana tidak achterlijk kalau sebagian dari mereka kini malah bersedia menjadi kaki tangan Golkar? Sebagian lagi bersedia jadi knecht (kenek atau kernet, red) PDIP, padahal ketika masa kampanye kemarin PDIP dibeber kelemahan dan kegagalannya. Kalau tidak tahu mana mitra perjuangan dan mana lawan yang mau dikoreksi, itu kan namanya sangat achterlijk.Anda tidak khawatir rakyat Indonesia yang mayoritas muslim akan kecewa kepada Anda?Dat kan mij niet schelen (Saya tak peduli). Catat ya, saya bicara kultur, produk budi pekerti. Jika kultur itu bertolak belakang dengan agama yang luhur, ya jangan salahkan orang lain menilai. Kalau tidak ingin dinilai achterlijk, ya sebaiknya konsisten dengan agama.Bicara soal konsistensi, menurut Anda seberapa penting ia mengambil peranan dalam perjuangan politik? Sebab elite politik Indonesia selama ini berdalih bahwa dalam politik tidak ada kawan abadi, tidak ada lawan abadi, yang ada kepentinganAdagium tersebut berwatak korup, sehingga pengagungan adagium seperti itu hanya mungkin terjadi di negeri yang juga korup. Jika ada tokoh partai, apalagi pemuka Islam, menggunakan adagium itu untuk pembenaran langkah politiknya yang bertentangan dengan ajaran agama dan menginjak hati nurani, maka Anda seharusnya menangis. Menangislah, karena praktik hipokrit telah terang-terangan terjadi. Adagium tersebut mematikan konsistensi. Padahal konsistensi itu peranannya amat penting dalam keteladanan dan perjuangan. Anda lihat sendiri. Saya ini bukan orang agama. Tapi saya konsisten memperjuangkan aspirasi rakyat, yang tidak puas dengan pemerintahan Partai Buruh dan ingin perubahan. Begitu hasil pemilu diumumkan dan tak ada pemenang mutlak, ya saya cari mitra koalisi yang sejalan dengan idealisme, untuk menyingkirkan Partai Buruh. Akhirnya pemerintahan Partai Buruh betul-betul bisa diakhiri. Kalau saya bergandengan tangan dengan Partai Buruh, atas dasar kalkulasi suara, itu namanya korup dan pengkhianat.Mengenai perkembangan politik di Indonesia menjelang pemilihan presiden (pilpres), apa penilaian Anda?Pemilihan presiden secara langsung ini akan menjadi momentum perbaikan di Indonesia. Bagaimanapun presiden adalah CEO-nya sebuah negara, yang akan menentukan kinerja. Sikap Gus Dur yang tetap tidak mau mendukung Golkar dan PDIP, karena keduanya dinilai telah gagal, bisa menjadi kontribusi positif bagi munculnya CEO baru. Tapi semuanya menjadi lelucon ketika KH Masyim Muzadi, dengan mengabaikan Gus Dur, malah bergandengan tangan dengan PDIP dan KH Solahudin Wahid (Gus Solah) dengan Golkar. Perbaikan apa yang bisa dilakukan kalau anda berkolaborasi dengan sumber yang mau diperbaiki? Nonsens itu!Tapi mereka beralasan bahwa itu demi kepentingan NUAlasan itu baru dapat diterima jika NU dalam posisi penentu, kemudian mitra yang dirangkul punya cita-cita dan idiologi sama. Saya malah melihat bahwa nasib NU akan jadi pendorong mobil mogok akan kembali terulang. Mereka semua berebut NU karena mengharapkan suara massanya. Begitu suara massa NU didapat, ya mereka akan jalan sendiri. Ada kiai senior di Jawa Tengah pernah menulis artikel tentang warning ini dan saya sependapat dengan dia.Anda punya saran bagaimana bisa terjadi perbaikan radikal di Indonesia, minimal bisa mendekati perbaikan seperti anda pelopori di Belanda?Selama tidak ada konsistensi perjuangan di kalangan elite politik, ya sulit mengharapkan hal itu terjadi. Anda tidak mungkin merubah warna tinta di belanga dengan memasukkan susu ke dalamnya. Pecahkan dulu belanga itu, sampai tintanya habis, ganti belanga lain, baru isikan susu ke dalamnya. Kalau anda tergoda kemilau belanga yang ada, lalu susu putih anda gabungkan dengan tinta di dalamnya dengan dalih ingin memutihkan tinta, maka anda telah melakukan pekerjaan achterlijk dan sia-sia. Saya tidak ingin menjadikan Belanda sebagai contoh, karena mungkin cukup sensitif. Tapi cobalah perhatikan langkah yang diambil rakyat Spanyol. Mereka mencampakkan pemerintah Jose Maria Aznar gara-gara berbohong dalam peristiwa bom kereta dan Irak. Rakyat langsung tidak percaya dan mencari pengganti baru, yakni Jose Luis Rodriguez Zapatero. Jika pemerintah dinilai telah berbohong atau gagal, ya memang tinggalkan saja dan coba ganti dengan yang baru, jangan malah campur-baur di dalamnya.
(es/)