Suara Masyarakat Mahal, Tak Bisa Dibeli Rp 10-20 Ribu di Pemilu Kada

Suara Masyarakat Mahal, Tak Bisa Dibeli Rp 10-20 Ribu di Pemilu Kada

- detikNews
Jumat, 04 Feb 2011 14:53 WIB
Jakarta - Praktik jual beli suara masih ditemukan dalam pemilu kepala daerah (pemilu kada). Hal ini dikarenakan masih banyaknya masyarakat yang kurang menyadari betapa mahalnya suara mereka, sehingga tidak bisa dibeli oleh para calon.

"Masyarakat sendiri kurang memahami mahalnya suara mereka. Sehingga masyarakat mau menjual dengan harga Rp 20 ribu, Rp 10 ribu atau berapalah," ujar Koordinator
Centre for Electoral Reform (Cetro) Hadar N Gumay dalam dialog interaktif bertajuk
Carut Marut Pilkada di Daerah dan Korupsi di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat
(4/2/2011).

Karena inilah, maka perlu diberikan pendidikan politik bagi masyarakat. Sebab
pembelian suara masyarakat itulah yang membuat pemilu kada menjadi mahal. Karena
para calon merasa pemilu kada mahal, maka menjadi rawan korupsi lantaran mereka
menginginkan balik modal.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya kira kalau mau dilihat, carut marut itu sudah nyata. Kalau ada 150 kepala
daerah yang korupsi, berarti ada sekitar 300-an yang tidak. Kasus yang begitu
banyak itu lumrah menurut kami, karena ada kekurangan seperti transparansi dan
proses penegakan hukum yang tidak bisa diselesaikan sejak awal," tutur Hadar.

Terkait pilkada yang bisa menang dalam pilkada, hal itu dikarenakan peraturan yang
memberi ruang. Karena itu peraturan yang ada harus dibenahi.

"Karena permasalahannya bukan pada sistem pemilihan secara langsung atau tidak.
Tapi ada permasalahan juga ketika pencalonan lewat parpol dan parpol tersebut menjual perahunya," imbuh pria berkacamata ini.

Terkait Kemendagri yang tengah menjajaki pemilu nasional dan pemilu kada yang
digelar serentak demi efisiensi, hal itu diapresiasi positif oleh Hadar. Selain
itu, penggunaan alat electronic voting juga bisa menjadi solusi.

"Masalah penghitungan suara juga bisa disederhanakan, misalnya langsung dilakukan di kabupaten. Jadi banyak hal yang bisa dilakukan untuk menghemat biaya," lanjutnya.

Hadar memaparkan, di Inggris ada model pembatasan kampanye. Di negara itu, para calon yang bertarung dalam pemilu tidak boleh sembarangan memasang baliho karena balihonya sudah disediakan pemerintah di tempat-tempat tertentu. Selain itu, mereka tidak boleh mengiklankan diri di TV.

"Masalah transparansi di Inggris sangat ketat," ucapnya.

Dia menambahkan, selama ini untuk audit bagi bantuan dana parpol telah dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Selain itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga diminta peran sertanya. Hal itu dikarenakan kampanye rawan korupsi.

Hadar juga menyinggung pengadilan khusus pelanggaran pemilu yang sudah masuk dalam RUU Pemilu. Menurutnya, itu adalah ide bagus. Petugas dalam pengadilan itu hanya bekerja ketika menangani kasus, namun ketika masalah sudah selesai, mereka bisa kembali ke pekerjaannya lagi.

"Kalau permanen, beban biaya pemerintah justru tinggi, jadi menurut saya, mereka ada hanya ketika ada kasus saja," tutup Hadar.

(vit/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads