Bandung - Bagaimana rasanya menjadi anak-cucu orang yang disebut sebagai biang kerok kerusakan bangsa atau pengkhianat? Sulit dibayangkan. Namun yang jelas, masa depan dan kehidupan mereka seakan begitu kelam dan tidak jelas.Setidaknya itu yang dirasakan oleh Ilham Aidit, putra tokoh G30S/PKI saat berbicara di depan peserta Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB) soal "Rekonsiliasi Nasional yang Bermartabat" di Ponpes Darut Tauhid jalan Geger Kalong Girang Bandung, Selasa (4/5/2004) sore.Ilham pun bertutur, pada saat tuduhan kepada bapaknya sebagai gembong G30S/PKI terjadi, dia baru berumur 6,5 tahun. Usia yang masih kecil dan belum tahu apa-apa."Namun saat saya melihat rumah saya di Karangsari dicoreti oleh orang yang mencaci dan mencerca Bapak saya, tubuh saya gemetar. Saat itu juga meski masih kecil, saya langsung membayangkan bahwa hidup saya sekeluarga akan mengalami kesulitan," tuturnya. Dan terbukti hal itu kemudian memang dialaminya.Namun Ilham pun menuturkan, dari kejadian itu, di dalam dirinya memang muncul konflik yang luar biasa, termasuk kemarahan-kemarahan kepada sistem. Kenapa dirinya yang tidak tahu persoalan apa-apa, kemudian harus menghadapi begitu banyak permasalahan."Tapi muncul kesadaran juga, kalau saya hanya menghadapi konflik internal di dalam diri saya, maka saya hanya akan terkungkung dan tidak akan bisa maju. Karena itu, saya coba endapkan dan lupakan konflik batin saya, agar saya bisa maju. Saya kira, di dalam bangsa ini pun demikian. Kalau kita terus terjebak kepada konflik-konflik yang ada, bangsa ini tidak akan bisa maju ke depan," ujarnya.Hal senada juga disampaikan Sujono Kartosuwiryo, anak tokoh DI/TII Kartosuwiryo. Dalam pertemuan itu sendiri, juga datang generasi kedua dan ketiga dari sejumlah pelaku sejarah. Baik anak dan cucu sejumlah tokoh Orde Baru, maupun mereka yang dicap sebagai 'pembangkang' negeri ini, seperti anak-cucu Daud Beureueh dan T Djohansyah dari Aceh, kerabat Husein Yusuf, anak tokoh HAM Yap Thian Hien, kerabat pahlawan revolusi Jenderal Achmad Yani, dan lainnya.Kiai kondang KH Abdullah Gymnastiar sendiri menegaskan kepedihannya terhadap konflik yang tidak berkesudahan di negeri ini. Pria yang akrab disapa Aa Gym yang baru saja mengikuti kunjungan Kapolri ke Ambon ini menuturkan betapa konflik-konflik semacam itu hanya akan membuat rakyat kian menderita. Karenanya Aa Gym sependapat, menatap ke masa depan harus dilakukan bersama-sama dengan penuh rasa optimisme.Sementara pelaku sejarah Sholohin GP yang pernah memimpin pasukan TNI memberantas pemberontakan Kahar Muzakkar di Sulawesi pun menuturkan, konflik semacam itu memang tidak pantas diturunkan sampai ke para ahli waris."Pada saat itu, saya memang berhadap-hadapan dengan Pak Kahar Muzakkar karena kami memegang prinsip dan tugas masing-masing. Saya sebagai prajurit TNI dan beliau memperjuangkan apa yang menjadi prinsipnya. Namun setelah kondisi semacam itu dilampaui, maka tidak ada lagi permusuhan di antara kami," katanya. Bahkan saking baiknya silaturahmi di antara mereka, Mang Ihin, panggilan akrabnya, kemudian malah "besanan" dengan mantan seterunya itu.Jadi, bangsa ini memang harus menatap masa depan secara bersama-sama. Bisakah?
(sss/)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini