"Kalau Sultan masih anak-anak, maka perlu perwalian yang berasal dari unsur paman atau eyang. Kejadian ini pernah terjadi saat Sri Sultan HB V, ketika menjadi raja umur 3 tahun," ujar Pengageng Pepas Dwara Pura (Humas) Keraton Ngayogyakarta KRT H Jatiningrat dalam perbincangan dengan detikcom, Selasa (14/12/2010).
Pada saat itu, ditunjuk 7 orang sebagai wali, salah satunya adalah Pangeran Diponegoro. Ketujuh orang yang menjadi wali itulah yang menjalankan fungsi pemerintahan. Mereka ditunjuk setelah Keraton menggelar rembuk.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Keraton ini punya pengalaman luar biasa. Kesultanan ini lebih tua dari republik ini, pengalamannya sudah ratusan tahun. Sultan HB saja tahun 1755," imbuh Jatiningrat.
Apakah pernah ada pertikaian terkait pergantian Sultan? Jatiningrat mengatakan, pertikaian memang pernah terjadi.
Jatiningrat menuturkan, konflik terjadi saat HB VI bertahta. Kisah bermula saat HB V tidak memiliki anak laki-laki sehingga digantikan oleh HB VI. Namun saat HB VI sudah naik tahta, lahirlah anak laki-laki HB V dari sang permaisuri. Anak itu bernama Gusti Ahmad atau Suryaning Alogo.
Ketika anak tersebut sudah dewasa, dia mengatakan berhak atas tahta yang pernah diduduki ayahnya. Tapi kala itu, Belanda tidak menghendaki. Lalu Gusti Ahmad dibuang ke Manado hingga wafat di sana. Di Manado, Gusti Ahmad meninggalkan keturunan yang banyak dan tetap mengakui sebagai keturunan Sultan HB V.
Setiap raja yang bertahta memiliki kontrak politik dengan Belanda yang kala itu menjadi penjajah. Gusti Ahmad tidak disukai Belanda dan tidak begitu cerdas. Menurut cerita orang-orang tua di Keraton, Gusti Ahmad bahkan menghitung uang saja tidak bisa sehingga tidak pantas untuk naik tahta. Meski begitu, jalur keturunan Sultan dan laki-laki sebagai pimpinan Keraton Yogya tidak pernah berubah.
Pertikaian juga sempat terjadi saat peralihan kekuasaan dari HB II ke HB III. Kala itu HB III sebagai putera mahkota diramal oleh paranormal bahwa usianya lebih pendek dari ayahnya. Hal itu dimanfaatkan oleh penjajah untuk memecah belah.
"Apalagi waktu itu HB II permaisurinya ada 4 orang. Masing-masing tentu bawa bendera sendiri-sendiri, ingin menduduki tahta. Banyak perselisihan, ada putera menantu. Akhirnya Inggris menghendaki HB II diganti HB III," jelas Jatiningrat.
Kala itu sempat terjadi pertempuran hebat. Namun sifat penjajahan Belanda dan Inggris sangat berbeda. Jika Belanda ingin mengahapuskan Yogya, sedangkan Inggris cukup puas mengganti raja. HB II pun digantikan HB III pada 1812. Ketika wafat HB II tidak mau dimakamkan di dekat makam HB III.
HB II lalu dibuang ke Pulau Penang, Malaysia. Saat penjajahan dikembalikan dari Inggris ke Belanda, HB II dipindah ke Ambon. HB III hanya 2 tahun memerintah, yakni pada 1812 hingga 1814. Sesuai ramalan, usia HB III memang tidak sepanjang ayahnya.
Setelah HB III wafat, HB IV bertahta di umur 10 tahun. Inggris menunjuk walinya yaitu Paku Alam I. Sesudah HB III dewasa, dia pun dilepas dari perwalian. Namun pada umur 19 tahun dia meninggal mendadak. Meski begitu, putranya sudah banyak. Penggantinya adalah HB V yang masih berusia 3 tahun.
Jatiningrat menegaskan, sultan selalu seorang laki-laki. Hal ini telah dilakukan sejak zaman Panembahan Senopati. Maka ketika HB X tidak memiliki anak laki-laki, penggantinya adalah dari kalangan adik Sultan. Seorang putri yang dilahirkan permasuri akan mendapatkan gelar Gusti Ratu. Jika putri itu bukan lahir dari istri Sultan yang bukan permaisuri tidak akan mendapat gelar Gusti.
Jika Sultan ditetapkan sebagai gubernur, bukankah itu membuat Sultan tersandera hak politiknya bila ingin maju dalam pilpres? "Nggak masalah, Pak Sultan IX pernah jadi Wapres. Saat itu wakil gubernurnya Paku Alam VIII. Tidak ada masalah apa-apa. Kenapa otik-atik," ucap Jatiningrat.
Upaya menghapuskan keistimewaan Yogya, lanjutnya, tercium sejak masa pemerintahan Presiden Soeharto. Namun niat terang-terangan lebih terlihat pada saat ini sehingga dihadapi terang-terangan juga oleh warga Yogya.
"Sultan itu adat, kalau DIY sudah pemerintahan umum, tunduk pada aturan negara. Tidak ada UU yang dilampaui. Adat dipelihara. Justru adat ini yang merupakan cerminan pribadi kita. Sebagai orang Jawa, tahu unggah-ungguh dan tata krama," tutur Jatiningrat.
(vit/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini