"Kalau memang ada hutan yang rusak, seharusnya Greenpeace memberikan masukan yang valid dan kita perbaiki sama-sama. Terpenting lagi, harus didasarkan pada kepentingan nasional. Jika berani menjelek-jelekkan Indonesia berarti Greenpeace membela kepentingan lain. Itu yang patut dipertanyakan," kata Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan kepada wartawan.
Hal itu dia katakan usai Seminar Nasional bertema Quo Vadis Hutan Indonesia ? Pembangunan Perubahan Iklim yang diselenggarakan Himpunan Alumni Institut Pertanian Bogor (HAIPB), di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Kamis (9/12/2010).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita jangan juga dianggap hanya satpam saja. Negara maju juga harus ikut serta
memelihara kelestarian hutan. Kita juga harus bisa membangun dan mengembangkan wilayah kita. Negara asing juga harus ada kontribusi, jangan hanya Indonesia," pintanya.
Sementara di tempat yang sama HS Dilon dari Partnership dan anggota Komisi IV
DPR Viva Yoga menyatakan kekecewaan terhadap Greenpeace yang dinilai melemahkan
dan merugikan kepentingan Indonesia. Dilon misalnya mempertanyakan motif
keberadaan Greenpeace, bahkan diduga hanya digunakan kepentingan perusahaan
asing untuk melemahkan perekonomian di Indonesia.
Dilon menilai, isu lingkungan yang diusung Greenpeace tidak ada ubahnya dengan
isu kesehatan yang pernah menimpa Indonesia puluhan tahun lalu. "Sekarang
mungkin mereka lebih memilih lingkungan guna melemahkan perekonomian nasional.
Greenpeace selalu menyamaratakan segala sesuatu. Karena ada pejabat yang tidak
baik, mereka pikir akademisi Indonesia juga demikian. Padahal, anggapan itu
jelas keliru," ungkapnya.
Sedangkan, anggota Komisi IV DPR Viva Yoga meragukan independensi Greenpeace
dengan penolakan untuk melakukan klarifikasi. Bahkan, Greenpeace bisa saja menjadi bagian dari persaingan global, misalnya PT Freeport yang banyak melanggar ketentuan tapi tak pernah dikritisi LSM asing itu.
"Pesan saya, jangan sampai Greenpeace dijadikan sebagai interest group para pengusaha-pengusaha asing. Kalau ada oihak yang dirugikan bisa diselesaikan secara hukum. Greenpeace bisa dituntut secara perdata atau pidana," ujarnya.
Terkait kritikan tersebut, Political Forest Campaigner Greenpeace Yuyun Indradi mengakui akan kekurangan data pendukung yang digunakan dalam kampanye. Sebab, selain data yang dimilikinya hanya merupakan hasil investigasi, mereka juga tidak melakukan penelitian sampai ke areal konsesi.
"Kita lembaga kampanye, bukan lembaga penelitian. Data yang kita miliki merupakan hasil investigasi. Kita lembaga kampanye, bukan lembaga penelitian. Data yang kita miliki merupakan hasil investigasi. Kita memang tidak melakukan penelitian di konsesi mereka," ujar Yuyun yang hadir dalam seminar itu.
(zal/mpr)