"Kenapa harus menunggu sampai satu minggu sebelum memberikan klarifikasi. Ini keburu ada gejolak. Masyarakat Yogya keburu minta referendumlah. Jadinya yang berkembang isu egosentris, tapi di daerah lain yang merasa punya jasa pun minta referendum, Aceh minta referendum, Papua minta referendum," ujar pengamat politik Ray Rangkuti.
Hal itu disampaikan Ray di sela-sela acara 'Refleksi Pemilu dan Pemilukada' yang digelar Constitution Center Adnan Buyung Nasution di Hotel Nikko, Jl MH Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (2/12/2010).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Apalagi kan yang dibicarakan soal monarki, seolah-olah lewat perkatannya pemerintah pusat ingin menghapus monarki, padahal kan tidak seperti itu," jelas dia.
Menurut Ray, isu-isu monarki seperti ini sensitif bagi masyarakat Jawa terutama di Yogyakarta. Sangat mungkin muncul kesalahpahaman karena pemerintah pusat terlambat bereaksi.
"Padahal kan maksudnya bukan ingin hapuskan monarki. Ini klarifikasi yg terlambat. Harusnya dari awal, agar tidak terjadi gejolak," tutup dia.
Sebelumnya di Istana Negara, Presiden SBY menjelaskan panjang lebar tentang isu RUU Keistimewaan Yogyakarta yang akhir-akhir ini panas. Pemimpin yang terbaik untuk Yogyakarta tetap Sri Sultan Hamengkubuwono X.
"Tolong dicatat tebal, sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, saya berpendapat, untuk kepemimpinan yang terbaik hingga ke depan tetap Pak Sultan. Itu pandangan saya sebagai presiden," kata SBY, Kamis (2/12/2010).
SBY ingin agar kedudukannya sebagai presiden dan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat dipisahkan. Hal itu, agar tidak terjadi dugaan politik praktis terhadapnya. "Dan dalam kapasitas yang lain, sebagai Ketua Dewan Pembina (PD) tentu saya akan mengalirkan pandangan ini di parpol yang saya bina," kata SBY.
"Kalau kita simak, saya belum mengatakan apakah Gubernur DIY mesti dipilih langsung atau otomatis ditetapkan seperti yang diperdebatkan hangat seperti sekarang ini," kata SBY.
(nwk/fay)