"Mengacu pada penghapusan Daerah Istimewa Surakarta (DIS) pada tahun 1946 oleh Presiden Soekarno maka pada dasarnya penghapusan sebuah daerah istimewa itu dimungkinkan untuk dilakukan. Tentu saja ada situasi khusus yang mengiringinya," ujar Sudharmono kepada wartawan di Solo, Rabu (1/12/2010).
Pada awal kemerdekaan, daerah Kasultanan Yogyakarta ditetapkan sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang dipimpin Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII selaku gubernur dan wakil gubernur. Sedangkan daerah Kasunanan Surakarta ditetapkan sebagai Daerah Istimewa Surakarta (DIS) dengan Sri Susuhunan Paku Buwono XII dan Sri Mangku Negoro VIII selaku gubernur dan wakil gubernur.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Aksi kelompok anti-swapraja di Surakarta ini mencapai puncaknya pada penculikan terhadap Perdana Menteri Syahrir yang saat itu sedang berada di Surakarta. Karena situasi yang semakin tak terkendali inilah maka Soekarno menyatakan pembekukan DIS dan selanjutnya daerah Surakarta digabungkan ke daerah Jawa Tengah.
Situasi politik yang berbeda saat itu terjadi di Yogyakarta yang di kemudian hari bahkan menjadi ibukota negara. Sultan saat itu juga memberikan peran yang cukup sentral dalam menyelamatkan negara ini sehingga daerah Yogyakarta terkonsentrasi menjadi daerah yang memegang peran penting dalam upaya mempertahankan kemerdekaan negara.
Karena kondisi itulah, Sudharmono menilai pemerintah pusat akan menjadi ahistoris jika mempersoalkan keistimewaan Yogyakarta. Apalagi diskursus tentang keistimewaan tersebut langsung dilontarkan oleh Presiden SBY yang memicu penafsiran bahwa SBY sengaja membuat situasi politik tertentu untuk dijadikan latar belakang pengambilan keputusan berikutnya.
"Atas dasar adanya mobilitas yang tinggi, gerakan massa dan kekacauan politik di Solo dan sekitarnya pada saat itu maka Soekarno membubarkan DIS. Artinya ada kondisi obyektif yang memang mendesak untuk mengambil langkah darurat. Dengan demikian tidak boleh ada rekayasa-rekayasa membuat ketegangan sosial sebagai dasar mempermasalahkan daerah istimewa, apalagi hanya untuk kepentingan pragmatisme politik," ujarnya.
Namun demikian, Sudharmono, menilai kegelisahan SBY juga perlu diladeni sebagai kegelisahan seorang presiden. Jalan tengah harus diambil untuk segera menyelesaikan
persoalan DIY agar tidak semakin berlarut tanpa ada keputusan final karena akan memakan waktu, tenaga dan biaya yang tidak sedikit.
"Bisa saja misalnya ditempuh jalan tengah. Sultan tetap ditetapkan sebagai kepala
daerah dan ada seorang kepala pemerintahan yang dipilih secara langsung dan mengemban amanat rakyat secara politis yang dipilih secara periodik. Dengan demikian kita menjadi bangsa yang punya komitmen terhadap kesejarahan," demikian Sudharmono.
(mbr/vit)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini