"Pernyataan SBY menyinggung dan melukai perasaan masyarakat dan para seniman Yogyakarta. Karena faktanya kami tidak merasa ada sistem monarki di sini," ujar Sekjen Forum Komunikasi Seniman Tradisi se-DIY, Bondan Nusantara, saat berbincang dengan detikcom, Selasa (30/11/2010).
Menurut Bondan, di Yogyakarta, Sri Sultan sangat menjunjung tinggi kebebasan berekspresi. Hal tersebut merupakan bentuk dari demokrasi. "Kita bisa menggelar pertunjukan mulai dari gedung sampai di alun-alun. DIY itu sangat demokratis," terangnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pemilihan di kepala desa di sini menggunakan istilah rembug deso, semua warga urun rembug menentukan siapa calon kades secara mufakat. Kalau pakai pencoblosan itu kan demokrasi prosedural, tidak mufakat," terangnya.
Saat ini dukungan untuk menolak RUU Keistimewaan Yogyakarta versi pemerintah di Yogyakarta semakin meluas. warga Yogyakarta tidak terima bila tatanan yang sudah mapan seperti saat ini diubah dengan sistem baru yang tidak sesuai dengan kultur masyarakat DIY.
"Semakin hari dukungan terus mengalir, sudah ribuan yang mendukung menolak RUU Keistimewaan versi pemerintah itu. UU itu untuk menentramkan warganya, bukan malah membuat konflik dan meresahkan warga," imbuh Bondan.Jumat, 26 November 2010 SBY menggelar rapat terbatas di Kantor Presiden. Agendanya, mendengarkan pemaparan dari Mendagri Gamawan Fauzi tentang perkembangan empat RUU yang akan segera dirampungkan oleh pemerintah, di antaranya RUU Keistimewaan DIY yang telah lama terbengkalai.
Niat baik pemerintah ini menimbulkan kontroversi saat Presiden mengungkapkan pandangannya mengenai RUU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dalam sambutannya di awal rapat, Presiden menyebut tidak mungkin sistem monarki dapat diterapkan di negara demokrasi seperti Indonesia. Bukannya dapat apresiasi, justru pendapat Presiden ini malah menimbulkan kontroversi. (her/vit)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini