Pelajaran dari Kisah Inamura No Hi

Antisipasi Tsunami

Pelajaran dari Kisah Inamura No Hi

- detikNews
Senin, 22 Nov 2010 08:38 WIB
Jakarta - Tsunezo Nakai (1907-1994), seorang guru di Jepang, mungkin dahulu hanya berpikir bahwa cerita pendek yang dia karang cuma untuk murid-muridnya sendiri. Namun, cerita itu kemudian dimuat dalam buku pelajaran bahasa Jepang di sekolah dasar selama hampir 10 tahun.

Bahkan, tulisannya yang berjudul "Inamura No Hi" tersebut kini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, tak terkecuali Bahasa Indonesia. Inamura No Hi dinilai sebagai bahan pelajaran yang baik guna menyelamatkan diri dari ancaman gelombang tsunami.

Inamura No Hi sesungguhnya adalah versi ringkas dari novel karangan Lafeado Hearn (Koizumi Yakumo) berjudul "A Living God" (1896). Meski berbentuk fiksi, novel itu mengandung teladan tentang cara-cara mengurangi dan menyiapkan diri dalam situasi bencana, terutama gempa bumi dan tsunami, yang menjadi 'langganan' Jepang selama ratusan tahun.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

A Living God diambil dari kisah nyata tentang bencana tsunami yang disebabkan gempa bumi Ansei-Nankai, Jepang, pada tahun 1854. Tsunami itu menerjang sebuah kampung kecil di Peninsula Kii (sekarang Hirokawa), sebelah barat Jepang. Seorang kepala kampung di daerah tersebut, Hamaguchi Goryo, berhasil  menyelamatkan seluruh warganya.

Cara yang ditempuh Hamaguchi terbilang unik. Ia rela membakar lumbung padi miliknya yang berada di atas bukit. Melihat lumbung milik kepala kampung terbakar, berlarianlah warga naik ke bukit untuk membantu  memadamkan api. Mereka tidak sadar telah terselamatkan dengan sendirinya dari gelombang tsunami yang datang beberapa saat kemudian.

Inamura No Hi berarti "api dari tumpukan padi". Selain sudah dialihbahasakan, karya Tsunezo juga sudah  dibuat dalam versi cerita bergambar. Detikcom mendapatkan salah satu contohnya ketika meliput kunjungan Wakil Presiden Boediono ke Disaster Reduction and Human Renovation Institution (DR-DRI), Kobe, Jepang, Selasa (15/11/2010), lalu. Lembaran itu diterbitkan oleh beberapa lembaga riset dengan sokongan  pemerintah Jepang. Namun, bahan tersebut saat ini sudah dapat dicari di internet.

Dalam serial berbahasa Indonesia, Hamaguchi digambarkan sebagai Pak Bus. Soal setting peristiwa, tampaknya disesuaikan dengan pengalaman Indonesia, yakni bencana tsunami yang menerjang Nangroe Darussalam Aceh pada 26 Desember 2004. Hal itu ditunjukkan oleh beberapa perempuan warga Pak Bus yang mengenakan jilbab.

Cerita berawal dari perasaan aneh yang dialami Pak Bus ketika keluar dari rumahnya pada suatu malam. Sebuah gempa baru saja terjadi, namun gempa kali ini tidak pernah dialami sepanjang hidupnya. Gempa berlangsung cukup panjang, perlahan, dan bunyi getaran tanahnya seperti auman harimau.

"Dari halaman rumahnya, Pak Bus melihat rumah-rumah di pesisir pantai. Pak Bus adalah ketua kampung dan ia merasa risau tentang keselamatan orang-orang kampung. Di tepi pantai, penduduk sibuk bersiap untuk acara di malam hari, sempena menyambut hasil panen padi untuk tahun itu. Penduduk tidak menyadari gempa yang baru berlalu." (halaman 4)

Pak Bus mengalihkan pandangannya ke tepi pantai. Air laut menyusut, sehingga batu-batu karang terlihat dengan jelas. Ikan-ikan tergelepar. Angin bertiup kencang dari arah lautan. "Oh, tsunami pasti akan  datang...Saya harus memberi tahu penduduk kampung sekarang juga. Jika tidak pasti akan terjadi korban jiwa seramai 400 orang," kata Pak Bus dalam hati.

Namun, urung memberi tahu warga, Pak Bus cepat-cepat berlari ke lumbung padinya di atas bukit. Ia menyulut hasil panennya yang berlimpah itu dengan obor. Seluruh lumbung padi yang berjumlah 6 itu dibakar. Saat api membesar, pria berjenggot panjang ini lantas memukul kentongan.

Paniklah seluruh penduduk. Melihat lumbung padi milik kepala kampung terbakar, mereka berbondong- bondong naik ke atas bukit untuk memadamkan api. Namun, ketika tiba di tujuan, mereka justru diselimuti perasaan heran. "Biarkan api itu. Bencana akan tiba. Perintahkan semua untuk berkumpul di bukit," kata Pak Bus. (halaman 7)

Untunglah belum terlambat. Seluruh penduduk kampung berhasil naik ke bukit ketika gelombang tsunami menyapu. Dalam kegelapan, mereka melihat garis tipis di tengah lautan. Garis itu dengan cepat bertambah tebal dan panjang. Lalu ombak dengan ketinggian bermeter-meter datang menerjang.

"Penduduk kampung melihat air laut tsunami memusnahkan kampung mereka...Di atas bukit, semua orang  kebingungan dan tidak mampu berkata apa-apa. Mereka hanya bisa melihat tanah dan rumah mereka yang  musnah...Lalu sebentar penduduk kampung mengerti apa arti api itu. Mereka mengerti sesunguhnya hidup  mereka telah diselamatkan karena kebakaran itu." (halaman 9)

Disebutkan dalam latar belakang kisah Inamura No Hi, Hamaguchi tidak saja berhasil menyelamatkan nyawa penduduk. Setelah peristiwa gempa Ansei-Nankai dan tsunami yang memilukan itu, ia turut membantu pemulihan pasca bencana. Bahkan, Hamaguchi membangun benteng sepanjang 600 meter di tepi pantai untuk menahan ancaman tsunami. Semua usaha itu dilakukan dengan tangannya sendiri.

(anw/anw)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads