Di kawasan Menteng memang berjejer rumah-rumah mewah milik orang kaya, yang dijaga minimal satu petugas keamanan. Sebagian rumah-rumah di kawasan itu masih mempertahankan arsitektur masa kolonial Belanda.
Termasuk rumah Sukartinah, yang beralamat lengkap di Jl Blitar No 3. Rumah tersebut masih lekat dengan nuansa arsitektur Belanda. Akan tetapi, berbeda dengan rumah mentereng tetangganya, rumah milik Sukartinah tampak kurang terawat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Banyaknya gerobak kaki lima yang diparkir di halaman memberi kesan rumah itu tidak berpenghuni. Sore itu, Kamis (11/11/2010) lalu, rumah tersebut dalam kondisi terbuka. Di halaman, sejumlah pedagang kaki lima sibuk menata dagangannya di gerobak mereka.
Sukartinah mengatakan, rumahnya memang tidak pernah berubah sejak dibeli oleh ayahnya, Soekardjono Reksosoeprojo, dengan cara mencicil, pada tahun 1952. Soekardjono adalah pegawai di perusahaan Belanda NV Lettergieterij Amsterdam, sebuah agen resmi penyalur mesin asal Jerman bermerk "Heidelberg" di Indonesia saat itu.
"Dari dulu, ya, seperti ini rumah saya," ujar Sukartinah kepada detikcom.
Ketika rumah itu diwariskan kepada Sukartinah, ia dan suaminya, Sutan Sjahril Mahruzar, seorang teknisi mobil balap, tidak banyak melakukan rehab. Ia memang sengaja mempertahankan rumah itu seperti apa adanya ketika pertama kali dibangun.
Melongok ke dalam interior rumah itu, terutama di ruang tamu, memang masih terlihat seperti aslinya. Di ruangan seluas 4 X 5 meter tersebut, terdapat satu lemari berbahan kayu jati ukir. Benda-benda elektronik kuno seperti radio tampak disimpan di balik kaca lemari.
Di dinding ruang tamu, Sukartinah memasang beberapa foto zaman dulu. Antara lain foto dirinya semasa masih belum begitu berusia lanjut serta foto anak perempuannya yang kini tinggal di Hongkong. Tidak lupa foto suaminya yang telah meninggal juga dipajang di dinding tersebut.
"Di sini ada 11 kamar tidur. Masih sama pula dengan yang dulu," kata Sukartinah sambil duduk di kursi rodanya ini.
Meski tampak kurang terawat, tentu saja karena lokasinya di kawasan elit, rumah itu harganya selangit. Rumah plus tanah yang totalnya sekitar 860 meter persegi itu, menurut Sukartinah, kini harganya bisa mencapai Rp 20 miliar. Ia mengaku tidak ingat berapa harga rumah itu ketika pertamakali dibeli oleh ayahnya.
"Ini rumah harganya Rp 20 miliar, tapi sama PPI cuma dilelang Rp 8,5 miliar," katanya.
Sebelumnya diberitakan, Sukartinah bersengketa dengan sebuah perusahaan berinisial "PPI" mengenai hak milik rumahnya. PPI disebut-sebut adalah perusahaan perdagangan hasil nasionalisasi NV Lettergieterij Amsterdam pada tahun 1957. Pada saat nasionalisasi berlangsung, PPI saat itu bernama Sinar Bakti.
Sengketa itu sudah berlangsung sejak Sinar Bakti berdiri. Soekardjono telah melunasi cicilan rumah itu kepada NV Lettergieterij dan ia dibekali surat keterangan lunas. Namun, Sinar Bakti tetap ingin mengambil rumah tersebut.
Pada tahun 1987, menurut Sukartinah, PPI membuat sertifikat secara sepihak atas kepemilikan rumahnya. Kemudian, sekitar 5 tahun yang lalu, PPI melalui karyawannya menggugat rumah miliknya dan kini kasusnya masih berada di Mahmakah Agung (MA). Di lain pihak, Pengadian Negeri Jakpus, kini sedang menggelar lelang atas rumah yang masih ditempatinya itu.
(irw/fay)











































