Kondisi keuangan RAL kini dalam keadaan tiarap. Sudah dua bulan perusahaan ini tidak membayar gaji seluruh karyawannya. Termasuk juga sampai saat ini belum membayar THR untuk lebaran kemarin.
"Sudah sebulan ini tidak ada pesawat RAL yang beroperi di bandara. Ini terhitung sejak awal September hingga Oktober ini tak satu pesawat RAL pun yang beroperasi dari Pekanbaru menuju sejumlah kota lainnya," kata Manejer on Duty Bandara Sultan Syarif Kasim (SSK) II Pekanbaru, Ibu Hasan dalam perbincangan dengan detikcom, Senin (18/10/2010).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terlepas soal gerakan tutup mulut itu, yang jelas, bisnis penerbangan RAL ini diambang kebangkrutan. Bila ditilik kebelakang, sejak awal binis ini terkesan penuh dengan intrik internal. Pemegang saham dan sejumlah komisaris saling intervensi menempatkan orang-orangnya yang sebenarnya tidak layak duduk di jabatan penting di RAL.
Perusahaan RAL ini merupakan modal patungan Pemprov Riau dan 11 kabupaten dan kota di Riau ditambah dengan kabupaten dan kota Provinsi Kepri, Jambi dan Lampung. Selama delapan tahun RAL modalnya Rp157 miliar. Sedangkan hutanya saat ini lebih dari Rp200 miliar.
Dalam pengelolaan perusahaan padat modal ini, terkesan bermain-main. Liat saja misalnya, saat pembelian pesawat antara tahun 2004 sampai 2006 lalu. Direksi dan komisaris sepakat membeli tiga pesawat jenis Foker F 50 seharga Rp 85 miliar. Padahal kondisi pesawat yang dibeli ini merupakan bekas perusahaan lain.
Bila merujuk kondisi pesawat tersebut yang bagus, diperkirakan harga pesawat ini paling mahal hanya Rp 25 miliar satu unit. Bila dengan kondisi yang baru saja, dengan jumlah tiga pesawat artinya harganya hanya Rp72 miliar. Tapi anehnya, justru pihak RAL membeli dengan harga Rp 85 miliar. Pembelian pesawat tersebut, sejak awal sudah diendus ada mark up.
Direktur Eksekutif Ruang Publik Indonesia, Syahnan R menyebut, kepada detikcom menyatakan, bahwa pengelolaan RAL sangat tidak profesional. Dalam pengelolaan keuangan ada unsur dugaan penggelapan dana publik.
"Semestinya soal pembelian pesawat foker tersebut, kalau bisa lebih murah kenapa mesti membayar mahal. Semua orang juga tahu, bahwa jenis pesawat ada harga pasarannya. Harusnya penggelembungan harga pesawat RAL diselidiki pihak kejaksaan," kata Syahnan.
Menurut Syahnan, sepanjang pihak RAL masih memakai manajemen nepotisme dan mengabaikan profesionalisme, maka perusahaan daerah ini susah untuk maju. "Kalaupun nantinya ada penambahan satu unit pesawat baru, ini hanya akan memperpanjang waktu untuk usia kematiannya saja," kata Syahnan.
(djo/djo)