pelabuhan Banda Naira, sekitar pukul 05.30 WIT, Senin (2/8/2010). Beruntung kami
mendarat pagi hari, di saat warga Banda memulai aktivitasnya.
Kami meninggalkan Pelabuhan Ambon sekitar pukul 23.30 WIT, Senin (1/8/2010). Saat
kapal melaju di Teluk Ambon, ombak Laut Banda tidaklah seberapa besar. Namun,
setelah kapal menjauhi Teluk Ambon menuju Banda, ombak semakin terlihat liar.
Tingginya gelombang laut membuat kami benar-benar tak bisa tidur nyenyak. Selama 6
jam, kami digoyang gelombang laut, sampai akhirnya sekitar pukul 05.30 WIT, kami
tiba di pelabuhan Banda Naira. Pagi itu masih gelap. Namun, kami sudah bisa melihat indahnya pulau-pulau Banda. Udara sejuk Banda membuat kami bersemangat, setelah sekitar 6 jam berada di dalam kapal Siwalima.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
bergegas menunaikan salat subuh. Masjid ini pas di depan mata saat kami turun di
pelabuhan Banda Naira. Jarak masjid dengan pinggir pantai hanya 20 meter saja.
Masjid Bung Hatta-Sjahrir ini merupakan pijakan kaki pertama Hatta-Sjahrir saat diasingkan Belanda ke Banda. Masjid bercat putih dengan kubah emas ini dibangun oleh Des Alwi, mantan sekretaris pribadi Bung Hatta, dan masyarakat Banda Naira. Masjid yang masih berbentuk bangunan lama ini diresmikan oleh Ny Sri Wahyunah, istri Syahrir, dan Mutia dan Halida Hatta, dua putri Bung Hatta pada 12 April 1979 atau 13 Jumadil Awal 1399 H.
Pada 1995, masjid ini dipugar dan diperluas atas prakarsa Yayasan Warisan Budaya Banda dibantu oleh Menteri Agama dan teman-teman dekat Bung Hatta/Bung Sjahrir. Lantas pada 25 November 1995, hasil renovasi masjid ini diresmikan oleh Ny Rahmi
Hatta, istri Bung Hatta.
Seusai salat subuh, kami bercengkerama sebentar di bibir pelabuhan Banda Naira. Dari pelabuhan ini, tepat di depan Banda Naira, terdapat pulau yang diberi nama Pulau Gunung Api. Pulau ini juga dihuni oleh masyarakat.
"Pulau Gunung Api ini merupakan gunung yang masih aktif. Terakhir meletus pada 1988. Namun, letusannya tidak sampai merusak pulau-pulau yang ada di sekitarnya," kata salah seorang warga Banda Naira, Yusuf.
Gunung ini terlihat sangat indah dan memiliki ketinggian sekitar 650 meter di atas permukaan laut (mdpl). Pagi itu, puncak gunung tertutup awan, yang lama-lama
menghilang setelah terbitnya Matahari.
Dari pelabuhan, terlihat warga Banda memulai aktivitasnya. Sebuah kapal kecil tampak bergerak dari tepi pantai Gunung Api menuju Banda Naira. Di dalam kapal itu, sebagian besar adalah anak-anak sekolah. Memang, warga yang tinggal di Kepulauan Banda bersekolah di Banda Naira. Di Banda Naira, terdapat sekolah SD, SMP, SMA dan juga SMK. Sekolah Tinggi Perikanan juga ada di pulau itu.
"Satu-satunya transportasi masyarakat antar pulau di Banda ini adalah perahu atau kapal," kata Yusuf. Tidak jauh jarak Gunung Api dengan Banda Naira. Dengan kapal, jarak ini bisa ditempuh dalam waktu yang tidak terlalu lama, sekitar 25-20 menit.
Dari pelabuhan Banda Naira, kami berjalan kaki menuju bagian tengah pulau Banda Naira. Banda Naira merupakan kota kecil yang cukup rapi. Rumah penduduk cukup padat. Jalan-jalan beraspal, namun tidak begitu lebar. Lebar jalan sektar 3-4 meter saja.
Dari pelabuhan, kami berjalan kaki ke arah kanan. Kami melalui Rumah Pengasingan
Dr Sjahri yang dindingnya berpelitur. Tapi, pagi itu, rumah masih dalam keadaan tertutup. Dan sekitar 3 menit setelah berjalan, kami menemukan pertigaan jalan.
Di sini, ada monumen kecil berwarna putih yang sebagian sisinya bertuliskan 'Pancasila'. Di dekat monumen, terdapat sebuah bangunan gereja yang memiliki bangunan yang unik.
Kami belok ke kiri dan sekitar 1 menit kemudian kami menemukan Benteng Belgica. Benteng ini terletak di atas bukit. Bangunannya masih terlihat kokoh. Dari atas benteng, kami bisa melihat Banda dan lautnya yang begitu menakjubkan.
Setelah beberapa menit di Benteng Belgica, kami turun dan belok ke kiri. Setelah ada percabangan jalan, kami ambil jalan ke kanan. Kami bertemu dengan Taman Monumen Parigi Rante. Di titik monumen ini, dulu banyak warga yang dibunuh dan dipenggal oleh kaum penjajah, karena berjuang menuntut kemerdekaan.
Perjalanan dilanjutkan dengan mengunjungi Rumah Pengasingan Bung Hatta. Lokasinya hanya sekitar 50 meter dari Taman Monumen Parigi Rante. Rumah ini masih asli seperti pada awal Bung Hatta diasingkan di sini. Kursi tamu, kursi baca, ruang kerja, dan kelas yang dulu dipakai Hatta masih tertata rapi. Rumah ini dijaga dan dibersihkan oleh seorang perempuan tua, bernama Ibu Emi.
Agak lama kami berada di Rumah Pengasingan Bung Hatta. Tak terasa perut sudah keroncongan, akhirnya kami kembali ke jalan awal. Kami menemukan sebuah warung makan, tepat di depan Rumah Pengasingan Sjahrir. Berbagai menu disediakan di sini, termasuk nasi goreng dan mie rebus. Dengan ditemani beberapa warga Banda Naira, kami mengobrol dan sarapan.
Cukup lama kami di warung ini, karena cerita-cerita beberapa warga Banda Naira
sangat menarik. Mereka bercerita mengenai buruknya transportasi di Banda dan
juga bercerita tentang romantisme Banda di masa lalu. Di warung ini, kami
bertahan hingga pukul 10.30 WIT. Ngobrol-ngobrol dengan masyarakat Banda memang
mengasyikkan.
Karena Menko Kesra Agung Laksono berkunjung ke Banda Naira dan melakukan dialog,
kami pun mengikuti acara ini. Dialog cukup meriah, karena warga berkeluh kesah banyak hal. Acara Menko Kesra yang digelar di gedung Makatita usai sekitar pukul 11.30 WIT. Kami pun segera beranjak pergi dari lokasi. Sebelum beranjak pergi, kami membeli jus pala untuk menghalau rasa haus. Satu botol jus berukuran 500 ml dihargai Rp 15.000.
Karena hari sudah siang, kami harus kembali ke pelabuhan. Di jalan menuju pelabuhan, kami singgah sebentar di Rumah Pengasingan Sjahrir. Di rumah ini, barang-barang Sjahrir pun masih diabadikan. Hanya sekitar 10 menit, kami mencoba mendatangi rumah dan hotel milik Des Alwi, tokoh Banda, yang terletak tidak jauh dari pelabuhan.
Di samping rumah Des, berdir sebuah bangunan baru yang cukup bagus. Rumah ini yang seharusnya disediakan untuk SBY saat singgah di Banda Naira pada Selasa (3/8/2010) besok. Namun, ternyata SBY batal. Dan malam ini, Seni (2/8/2010), rumah ini dijadikan tempat warga Banda untuk melakukan teleconference dengan Presiden SBY.
Dari hotel Des Alwi, kami membeli makan siang di sebuah warung dekat hotel Des. Menu yang disediakan cukup sederhana. "KAlau tidak ada acara ini (Sail Banda), di sini sunyi," kata salah seorang pelayan warung. Setelah makan siang, sekitar pukul 12.30 WIT, kami pun memasuki kapal dan segera menuju Ambon. Meski hanya singgah di Banda Naira selama 7 jam, kami sangat terkesan!
(asy/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini