"Pernah, sidang perdata di PN Jakarta Pusat harusnya jam 10.00 WIB, baru mulai pukul 17.00 WIB. Molor 7 jam," kata pengacara Raja Nasution saat berbincang dengan detikcom, Senin, (21/6/2010).
Molornya jam sidang akhirnya menjadi pemandangan lumrah di seluruh pengadilan negeri di Jakarta. Akibat molornya jam sidang, puluhan janji masyarakat terbengkelai. Padahal, pengadilan berprinsip sederhana, cepat dan biaya ringan menjadi tak terpenuhi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beda pengadilan umum, beda pula pengadilan agama. Di PA Jakarta Timur, sidang tak hanya on time, tapi sudah tertib. Tiap pihak yang berperkara yang datang langsung mengambil tiket antrean sidang layaknya antre di bank. Tiket ini juga menunjukan ruang sidang dan hakim yang menangani.
"Jadi kalau datang, tinggal ambil tiket dan kita nunggu antre di depan ruangan hingga dipanggil masuk," cerita pengacara lainnya, Rizky Rahmwati.
Proses komputerisasi ini sedikit banyak mengurangi tatap muka pihak berperkara dengan hakim/panitera. Dengan sedikitnya tatap muka, maka ikut memotong mata rantai makelar kasus (markus).
"Kita pas daftar juga di loket pendaftaran, bukan ke panitera. Ketemu hakim ya di ruang sidang. Ini beda dengan di pengadilan umum yang masih manual, ketemu panitera/hakim sebelum sidang yang mendorong permainan markus," tambahnya.
Pantauan detikcom, jadwal sidang yang tertib waktu juga nampak di Pengadilan Tata Usaha Negar (PTUN) Jakarta, Jalan Sentra Baru Primer, Jakarta Timur. Usai melapor ke panitera, pihak berperkara tinggal menunggu sidang, bisa di ruangan atau di lobi.
Setelah para pihak hadir, sidang pun dibuka mulai jam 10.00 WIB yang di laksanakan di 4 ruang. Usai sidang perdana, sidang lanjutan di dimulai dari kesepakatan para pihak dan hakim, baik jam sidang atau hari sidang.
"Yang paling parah ya pengadilan umum. Di PN Jakarta Utara, saya pernah sidang jam 17.00 WIB hingga habis magrib. Makanya kalau ada sidang di pengadilan umum, saya kosongkan janji dengan siapapun hingga jam 17.00 WIB," pungkas Rizky.
(asp/nwk)