"Sekarang berapa banyak buku yang telah dilarang. Kalau saya, UU ini sudah dibuang. Kecuali kita mau mempertahankan sejarah, di mana kita menjadi korban sejarah," ujar Buyung di ruang Sidang Gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Selasa (15/6/2010).
Buyung menerangkan, awalnya UU ini dibuat dalam bentuk Penetapan Presiden setelah Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR) saat itu menolak usulan UU Subversif. Namun entah kenapa kemudian Penetapan Presiden tersebut akhirnya diubah ke dalam bentuk UU.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Buyung menambahkan, saat itu, presiden dijabat Soeharto dan menteri kehakiman dijabat adalah Oemar Seno Adji. Saat itu, kata Buyung, timbul gejolak di tengah masyarakat.
"Semua aktivis kumpul, marah dengan UU tersebut karena bertentangan hati nurani rakyat," jelas mantan anggota wantimpres tersebut.
Sementara itu, saksi dari pemohon yang lainnya, Syafinuddin Almandari mengatakan ia mengalami hambatan saat ingin mencari buku. Hal ini juga menghambat perkembangan pengkaderan pergerakan di kalangan mahasiswa.
"Pada kurun waktu tahun 1991-1998, perkembangan ilmiah terhambat, buku susah diakses. Buku-buku karangan Pramoedya Ananta Toer dan lain-lain terhamabat untuk diakses sebagai khasanah pengkaderan di gerakan mahasiswa," terang mantan aktivis HMI tersebut.
(ddt/lrn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini