“Saya memang tidak ingin men-judgment (menghakimi-red) lawyer dalam posisi yang buruk. Memang dalam kenyataan masih ada bad lawyer. Tapi masih banyak pula yang baik. Banyak dilema yang ditulis di buku tersebut,” kata salah satu penulis sekaligus editor, Risa Amrikasari saat peluncuran Good Lawyer di Rumah Makan Sindang Reret, Jl Wijaya, Jakarta Selatan, Jumat (11/6/2010).
Para penulis menampik bila buku Good Lawyer untuk mengubah citra buruk pengacara. Menurut para penulis, pengacara harus diletakkan dalam posisi yang proporsional tanpa perlu melihat hitam-putih.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Saya menulis pengacara yang melepas profesinya karena posisi dilematis pengacara. Ia kembali ke Makassar karena konflik batin di Jakarta, bahwa hukum tidak semua bisa diuangkan,” ucap Mimhi Nurhaeda, blogger asal Makassar.
Buku tersebut ditulis secara keroyokan oleh 11 blogger yang memenangkan kompetisi penulisan cerpen bertema hukum. Latar belakang penulis yang beragam dan tidak melulu sarjana hukum, membuat gaya penulisan lebih luwes. Tidak ada perdebatan yang njlimet, melainkan lebih kepada persoalan sehari-hari yang kompleks.
Menurut pengamat hukum Hendardi, buku ini membuat pembaca memahami persoalan hukum menjadi lebih rileks dan tidak sekaku jurnal hukum pada umumnya.
“Ini bisa menjadi model kreatif untuk mengajak publik tertarik memandang hukum sebagai sesuatu yang penting diketahui. Cerita hukum di dalamnya tidak hanya bersifat sosialisasi tetapi juga memunculkan tantangan berpikir tentang keadilan,” ucap Hendardi.
Sayang, tokoh yang berada di buku tersebut hanya rekaan atau disamarkan. Padahal, semua persoalan dan kasus hukum yang dihadirkan merupakan realita sehari-hari dan pernah muncul ke publik. Tampaknya, penulis enggan terjebak pada dikotomi bad lawyer dan good lawyer. Para blogger ini lebih memilih jalur aman di zona yang tidak nyaman bagi sebagian orang.
(Ari/lrn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini