Sebelum sakit-sakitan karena tergerus usia, detikcom beberapa kali menghabiskan pagi bersama, karena memang tak sulit bertemu dengannya dan kebetulan sering lewat depan kediaman Gesang. Hampir setiap pagi, Gesang selalu menghabiskan waktu dengan duduk-duduk di emperan rumah atau di ruang tamu rumah adiknya di Jalan Bedoyo No 5, Kemlayan, Solo.
Dua tahun yang lalu misalnya, dengan ramah dia menerima detikcom. Saat itu dia telah mengalami sejumlah kemunduran fungsi tubuhnya, terutama pendengarannya. Namun setelah dapat menangkap pembicaraan lawan bicaranya, terlihat ingatannya masih segar. Begitu dia bercerita tentang liku-liku proses kreatif keseniman, penciptaan lagu-lagu, hingga kisah hidup dan percintaannya, akan segera terlacak di balik kesederhanaan itu Gesang adalah sosok seniman besar.
Sikap hidupnya yang sederhana itu merembes dalam wilayah proses kreatif. Diksi-diksi sederhana mendominasi syair-syair lagunya namun tak mengurangi tingkat capaian musikal dan puitikanya. Justru dalam kesederhanaan itulah termuat kelebihan lagu-lagu karya Gesang.
"Tak banyak lagu yang saya ciptakan, hanya sekitar dua puluh hingga tiga puluh lagu selama saya menggeluti musik keroncong dari tahun 1935," paparnya polos dan tanpa ada terbersit nada congkak atau niatan memperlihatkan kebesaran.
Apakah dia masih ingat judul seluruh lagu ciptaannya, dengan polos juga dia menjawab, "Dari muda juga saya memang tidak ingat seluruh lagu ciptaan saya itu. Semua sudah saya serahkan kepada masyarakat. Paling-paling kalau saya mendengarnya lagi, baru akan ingat lagi dan dalam hati sepertinya itu lagu saya yang dulu," katanya.
Hampir seluruh karyanya dapat diterima masyarakat, terbukti dengan melegendanya lagu-lagu itu. Sebut saja misalnya lagu ‘Bengawan Solo’ dan 'Jembatan Merah’ untuk jenis langgam dan keroncong berbahasa Indonesia. Saking terkenalnya kedua lagu tersebut hampir-hampir tak terpisahkan ketika kita sedang menggambarkan Kota Solo dan Kota Surabaya.
Lagu-lagunya yang berbahasa Jawa juga sangat lekat di hati penggemar langgam Jawa. Sebut saja misalnya langgam ‘Ali-ali’, ‘Caping Gunung’ atau 'Dongengan'.
Gesang Martohartono, demikian nama lengkap maestro keroncong dan langgam yang sulit dicari gantinya itu. Dia dilahirkan di kampung Kemlayan, Solo, 1 Oktober 1917. Dia lahir sebagai anak kelima dari sepuluh anak pasangan Martodihardjo dan Soeminah. Orangtuanya semula memberinya nama Soetadi.
"Waktu kecil katanya saya sakit-sakitan. Sesuai tradisi orang Jawa, anak yang sakit-sakitan mungkin karena namanya tidak cocok. Lalu nama saya diganti menjadi Gesang lalu setelah menikah ditambahi Martohartono. Gesang itu artinya hidup. Itu doa orangtua saya agar saya awet hidup. Ternyata doa itu dikabulkan, saya tidak lagi sakit-sakitan dan awet hidup hingga sekarang," tuturnya.
Kreator Modal Terbatas
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejak awal bergabung hingga namanya melejit sebagai pencipta lagu, Gesang selalu tampil sebagai penyanyi. Posisi abadinya itu mengakibatkan dia sama sekali tidak mampu memainkan alat musik apapun kecuali seruling Jawa, itupun cuma sebatas mencari-cari nada ketika akan mencipta lagu. Setelahnya semua aransemen dikerjakan oleh orang lain.
Kegagalan Rumah Tangga
Pendidikan formal anak kelima dari sepuluh bersaudara itu hanyalah tamat sekolah rakyat. Dia berasal dari keluarga pedagang batik. Karenanya bakat seni yang mengalir dalam dirinya merupakan sesuatu yang benar-benar baru di tengah keluarganya. Seluruh saudaranya tidak ada yang menekuni dunia seni.
Semula Gesang juga mengikuti jejak bisnis keluarga. Meskipun terus menyanyi, ia mencoba menjadi pedagang dengan membuka toko. Usaha yang dirintisnya menunjukkan kemajuan, hingga pada tahun 1941 dia memberanikan diri meminang Waliyah, gadis asal Notosuman, kampung yang berada tidak jauh dari tempat tinggal keluarga Gesang.
Rupanya garis hidup tak menghendakinya sebagai pedagang. Tahun 1945 tokonya tak terurus dan mengalami kebangkrutan karena dia lebih asyik menekuni kesenian. Kondisi ekonomi keluarganya pun jatuh, karena tidak aktifitas keseniannya tak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ditambah lagi dengan persoalan tidak segera dikaruniai keturunan hingga akhirnya 1963 perkawinannya benar-benar tak bisa dipertahankan.
Belajar dari kegagalan keluarga itulah akhirnya Gesang memutuskan tidak menikah lagi dan menyerahkan seluruh sisa hidupnya untuk membesarkan dunia seni keroncong.
Rumah Hadiah dan Sadar Posisi
Lagu-lagu yang lekat di hati pendengar maupun ketenaran nama, ternyata tidak serta-merta diikuti kondisi kehidupannya. Rumah tinggal berdinding bambu yang telah 40 tahun dihuninya semakin tidak layak huni dan termakan waktu. Sementara para pengagumnya, terutama dari Jepang dan Cina, semakin banyak datang mencarinya.
Keadaan ini diketahui Pemerintah. Pada tahun 1980 Soepardjo Roestam, Gubernur Jawa Tengah saat itu, menghadiahkan kepadanya sebuah rumah tipe 21 di Jalan Nusa Indah Blok III/8, Perumnas Palur, Karanganyar.
Namun rumah tersebut dia kosongkan sejak 2001 lalu, karena keluarga memutuskan memindahkannya di rumah Thayib, adik kandungnya, di Kemlayan, Solo. Alasannya kondisi yang semakin pikun dan tidak ada yang merawat.
"Dulu saya tinggal di Palur bersama seorang cucu keponakan, sekarang dia sudah menikah dan tinggal bersama suaminya di Jakarta. Khawatir terjadi apa-apa pada saya yang tinggal sendirian, para adik dan keponakan meminta saya tinggal bersama salah satu dari mereka. Saya memilih di Kemlayan ini, kampung asal saya," ujar Gesang saat itu kepada detikcom.
Sikap kelegawaan dan kerendahan hatinya juga nampak dari keberatannya menerima gelar kehormatan sebagai seorang abdidalem anon-anon, yaitu sebuah gelar kehormatan dari Keraton Surakarta yang diberikan bagi orang yang dinilai mumpuni dalam bidangnya dengan gelar sebagai raden tumenggung.
"Yang jelas saya pakewuh (tak enak hati), bukan pada siapa-siapa tapi pada diri sendiri. Apa pantas saya mendapat sebutan tumenggung. Saya ini orang kecil, takut kuwalat. Di samping itu juga ada kewajiban harus marak sowan (menghadap raja), saya kira kesehatan saya sudah tidak lagi mengizinkan", papar Pak Gesang memberikan alasan keberatannya tersebut.
"Waktu kecil saya di Kemlayan ini, tetangga saya para priyayi yang memiliki keahlian di bidang seni jauh lebih tinggi dari saya namun gelarnya hanya lurah atau bekel. Lha ini, saya yang orang kebanyakan tiba-tiba kok terus dipanggil ‘pak menggung’. Saya jadi pakewuh dan harus banyak berkaca diri. Sudahlah Pak Gesang saja sudah cukup", lanjut penerima anugerah Bintang Budaya Parama Dharma dari Pemerintah pada tahun 1992 itu.
Kesahajaannya ini pula mungkin yang ikut membesarkan namanya. Zaman demi zaman ia lalui dengan tenang dan pasti. Ibarat bengawan, Gesang adalah alir yang dalam dan tenang dan tak meruahkan banyak riak dan Gesang akan terus menikmati aliran bengawan hidupnya itu.
Seperti yang pernah ditulis dalam sebuah lagu gubahannya, bahwa tentang suratan sejarah hidupnya Gesang akan terus mengalir sampai jauh akhirnya (menuju) ke laut, muara dan arah singgahnya. Dan semuanya dengan penuh sahaja dan kepastian pada pilihannya.
Malam ini dia meninggalkan kita selamanya. Kita jadi diingatkan bahwa kita pernah memiliki seorang sosok besar yang membungkus dirinya dengan kesederhanan. Dia sama sekali tidak pernah merasa penting meskipun dia pantas merasa diri sebagai orang penting. Dia tidak pernah meminta lebih, bahkan seringkali kita mencuri rezekinya dengan mengabaikan membayar royalti atas karya-karya ciptaanya.
Malam ini kita ditohok Mbah Gesang. Kita harus berkaca, di saat kita telah sok merasa penting, apakah kita telah mampu berbuat banyak dalam menjaga harmoni dan kebaikan bersama. Kita harus berkaca, di saat kita masih menginginkan sesuatu yang berlebih, apakah itu memang milik kita. Sebab konon separo kerusakan yang terjadi di muka bumi ini disebabkan oleh orang-orang yang merasa penting, sedangkan separonya lagi adalah akibat dari orang-orang yang serakah.
Selamat jalan Mbah Gesang, 'mengalirlah' dengan tenang.
(mbr/ape)