Setidaknya istilah itu pernah dikatakan duo juru bicara kepresidenan, anggota parpol koalisi dan bahkan pimpinan KPK. Usai menghadiri seminar di Jakarta Selasa 26 April lalu, Wakil Ketua KPK M Jasin mengatakan salah satu pertimbangan pihaknya tidak memeriksa Boediono di gedung KPK adalah karena ia adalah simbol negara.
"Pokoknya kita junjung tinggi karena Pak Wapres adalah simbol negara dan kita menghormati," kata Jasin saat itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Itu dia, saya juga nggak ngerti. Itu bahasa yang muncul tiba-tiba," kata Hakim Konstitusi Akil Mochtar saat ditemui di kantornya, Rabu (28/4) kemarin.
Hal senada juga dikemukakan oleh pengamat hukum tata negara Irman Putra Sidin. Irman dan Akil kompak mengatakan, konstitusi tidak pernah menyebut wapres adalah simbol negara.
Yang dimaksud dengan simbol negara, kata Irman, bukanlah seseorang yang mempunyai kewenangan tertentu dan menjadi pucuk di suatu lembaga negara. Melainkan adalah sesuatu yang padanya identitas sebuah negara terus melekat, dan menjadi pembeda dengan negara lain.
"Simbol negara itu bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaaan," kata Irman.
Hal ini tertuang dalam BAB XV UUD 1945, di mana pasal 35 sampai 36B menyebutkan, bendera negara Indonesia ialah Sang Merah Putih, bahasa negara ialah Bahasa Indonesia, lambang negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, dan lagu kebangsaan ialah Indonesia Raya. Simbol negara ini diatur lebih khusus dalam UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaaan.
Pasal 2 UU itu juga menyebutkan, pengaturan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan sebagai 'simbol' identitas wujud eksistensi bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan berdasarkan asas persatuan; kedaulatan; kehormatan; kebangsaan; kebhinnekatunggalikaan; ketertiban; kepastian hukum; keseimbangan; keserasian; dan keselarasan.
"Kalau presiden, wapres bisa berganti. Tapi bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaaan tidak akan pernah berganti," jelas Irman tentang simbol yang menjadi identitas suatu negara itu.
Irman menegaskan, wapres bukanlah simbol negara. Sebagaimana pasal 4 ayat (2) UUD 1945 , wapres adalah pembantu presiden. Sementara presiden adalah sang pemegang kekuasaan pemerintahan itu (ayat 1).
Ia pun khawatir jika istilah simbol negara ini akhirnya terlanjur memasyarakat dan mengacaukan istilah ketatanegaraan yang ada.
"Jika wapres simbol negara, takutnya organ kekuasaan lain seperti DPR, MA, dan MK juga akan mengatakan 'saya simbol negara'," kata Irman tentang kesetaraan lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif pascaamanden UUD 1945.
Lepas dari sah atau tidaknya Wapres Boediono diperiksa di luar gedung KPK, yang jelas penggunaan istilah dalam diskursus ketatanegaraan sangat penting untuk dicermati. Jangan sampai istilah-istilah yang terlanjur memasyarakat justru mengaburkan makna yang telah digariskan konstitusi. Apalagi, istilah itu justru dipopulerkan oleh petinggi negeri ini.
(lrn/mok)