"Ada dua pilihan, naik long boat (kapal panjang) atau ketinting (sampan)," ujar Radiansyah, mantri desa di Puskesmas Kota Bangun, kepada detikcom, Jumat, (23/4/2010).
Long boat hanyalah sampan dari papan kayu berukuran 1,5 x 5 meter dengan atap ala kadarnya. Sedangkan ketinting, lebih kecil dari long boat tanpa atap sama sekali. Keduanya sama-sama di tarik dengan mesin motor berkecepatan rendah. Dengan moda transportasi inilah, masyarakat melakukan kegiatan sehari-hari. Dari pergi berbelanja ke pasar, mengunjungi kerabat atau sekedar pergi ke masjid.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketinting pun perlahan melaju menembus Sungai Mahakam yang mulai tercemar. Sepanjang perjalanan, di kanan kiri sungai berdiri rumah panggung dari bilik papan. Di depan rumah tersebutย juga berdiri sebuah kotak dari papan sebagai toilet. Beberapa di antaranya, tak berpanggung, tapi berdiri diatas balok-balok kayu ibarat kapal.
"Kalau hujan terapung, kalau kemarau ikut surut ke dasar sungai. Dikaitkan dengan tali ke dasar sungai agar tak hanyut," kisahnya.
Perlahan, 1 jam long boat memasuki desa Semayang, Kecamatan Kenohan. Lantas perjalanan berlanjut ke desa Muara Enggelam, Kecamatan Muara Wis dan berakhir di desa Enggelam, tempat berdiam warga Dayak Tanjung ketika waktu mulai senja.
"Bayangkan jika ada yang sakit, dan harus dibawa ke dokter. Apa tidak keburu mati," tanyanya kepada detikcom.
Untuk menopang perekonomian warga, masyarakat memelihara ikan air tawar di samping rumah. Beberapa membangun keramba di tengah sungai. Jenis ikan dari Ikan Baung, Ikan Betutu. Ikan Lais dan Ikan Kepo.
Adapun pengeluaran terbesar adalah untuk transportasi karena harga bensin Rp 6 ribu per liter dengan minimal sekali perjalanan menghabiskan 20 liter untuk jarak tempuh 1 jam. "Sekarang,
apakah warga harus ke Kota Bangun untuk menebus obat senilai Rp 50 ribu sementara biaya perjalanan Rp 250 ribu ?" ceritanya.
(asp/gah)