Djohan dikenal sebagai teman dan juga "guru" politik dari Taufiq Kiemas, suami dari Megawati Soekarnoputri. Sekitar pukul 13.30 siang tadi, Djohan dikebumikan di pemakaman keluarga di TPU Puncaksekuning, Palembang.
Djohan Hanafiah sering disebut sebagai bapak "penggali sejarah dan budaya Palembang", sebab dialah sosok yang banyak menulis artikel, buku, serta menjadi narasumber mengenai sejarah dan budaya Palembang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Djohan dilahirkan di Palembang pada 5 Juni 1939 dari pasangan Raden Muhammad Ali Amin dan Raden Ayu Ning Fatimah. Dia merupakan anak sulung dari tujuh bersaudara.
Di masa Orde Lama, Djohan dikenal sebagai wartawan yang garis politiknya ke PNI. Dia juga aktif di GMNI. Saat perploncoan mahasiswa baru Universitas Sriwijaya, tahun 1962, Djohan kali pertama bertemu dengan Taufiq Kiemas, yang kemudian diajaknya bergabung dengan GMNI.
Tugas pertama Taufiq Kiemas yakni mengumpulkan sumbangan dana untuk membiayai fakultas kedokteran Unsri yang baru dibuka. Sejak itu Djohan dan Taufiq terus bersama, baik melakukan diskusi maupun aksi-aksi terkait dengan perjuangan GMNI saat itu.
Tetapi, saat itu, Djohan juga banyak menulis soal budaya dan sejarah.
Saat transisi pemerintahan Orde Lama ke Orde Baru, Djohan ditangkap selaku wartawan, dan Taufiq ditangkap selaku aktifis GMNI.
Hampir bersamaan, pada era tahun 1970-an, baik Djohan maupun Taufiq lebih banyak aktif di dunia bisnis. Baru di tahun 1980-an, keduanya kembali terjun ke dunia politik. Bedanya Taufiq di PDI—kemudian mendeklarasikan PDI Perjuangan—dan Djohan di Partai Golkar.
Beberapa tahun menjelang Soeharto turun, Djohan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk kerja kebudayaan. Dia menulis sejumlah buku sejarah dan budaya, termasuk menjadi tokoh penggerak kebudayaan Melayu di Asia Tenggara.
Pada tahun 2004 lalu, Djohan menerima penghargaan Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden Megawati Soekarnoputri.
(djo/djo)