Operasional pabrik tersebut dilakukan oleh pasangan suami isteri AB alias PB alias AT dan DW alis OK alias VV alias AN.
"Saya terpaksa melakukan ini, dia (Kebot) yang minta, saya tidak bisa menolak karena takut," ujar AN, mantan istri Kebot, di Gedung BNN, Jl MT Haryono, Jakarta Timur, Minggu (28/3/2010).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sebenarnya saya tidak mau karena resikonya besar. Dia minta uang Rp 1 miliar buat biaya kasasi, dia bilang cuma 3 bulan uang itu bisa terkumpul setelah itu sudah berhenti, ya sudah saya mau, " kata AN sambil menangis.
AN mengaku mengalami trauma selama hidup dengan Kebot. Ketika Kebot hendak memesan pesanannya melalui telpon, Kebot sering menekan dan membentak-bentak AN. Itulah yang membuat AN tidak bisa menolak segala permintaan Kebot.
"Sudah takut duluan, dia membentak saya, saya takut. Memang tidak sering tapi selalu menekan saya," tuturnya.
Kebot mengajari AN memproduksi ekstasi dengan menggunakan mesin pencetak melalui telepon. Karena masih awam, AN pun mengaku kesulitan dan sering gagal dalam memproduksi ekstasi.
"Pertama bikin tidak jadi-jadi, selalu gagal. Saya bikin sama suami baru saya, bikinnya susah pertama kita gagal, terus kita buang ke sungai," ungkapnya.
AN mengaku tidak mengetahui kemana barang produksinya dijual. "Saya tidak tahu dijual kemana, saya bukan pengedar, tugas saya cuma bikin. Banyaknya tergantung pesanan" paparnya.
AT suami AN pernah bekerja di salah satu bank swasta. Dia mengaku membantu
memproduksi ekstasi karena kasihan melihat tekanan yang dialami istrinya. "Saya coba menasehati tapi kasihan. Akhirnya saya juga ikut bantu," kata AT.
(nal/nal)