"Ada empat soal, Bahasa Indonesia, soalnya gampang jadi bisa dikerjain. Yakin lulus soalnya belajar terus setiap malam," tutur Putri Rahmawati (18) siswi SLB Dharma Asih, saat ditemui usai US di sekolahnya, Jl Bangau Raya, Depok, Jawa Barat, Senin (23/3/2010).
Senada dengan Putri, Riadi Cahyo Utomo (20) juga merasa mampu menyelesaikan soal-soal tersebut dengan lancar. "Gampang cuma 10 soal, Bahasa Indonesia. Yakin lulus dong soalnya gampang," kata Riadi dengan semangat yang juga diamini oleh rekannya, Ahmad Hidayat (20).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Susah-susah soalnya. Nggak tahu nih lulus atau nggak, tapi kerjain aja semampunya," ungkap Fanny.
Sementara itu, Kepala SLB Dharma Asih, Nurdin mengatakan, kemampuan mereka belum tentu sama sehingga cara mengajarkan dan memberi soal harus disesuaikan. "Yang sudah bisa baca dilepaskan. Tapi yang belum bisa baca dibacakan. Bukan mengarahkan jawaban tapi mempermudah mereka dalam membaca soal," kata Nurdin.
Selain menjalani ujian tertulis, siswa-siswi SLB ini juga harus mengikuti ujian Bina Diri dan Keterampilan. Untuk ujian Bina Diri, Nurdin mencontohkan, anak-anak diuji mengikat tali sepatu atau menggunakan kaos kaki sendiri. Mereka juga akan diuji bagaimana cara menggosok gigi dan memakai baju.
"Ini ciri khas bagi penderita tuna grahita. Bagi mereka tidak mudah melakukan hal-hal semacam itu," jelas Nurdin.
Dalam ketrampilan, penderita tuna grahita diminta untuk membuat kerajinan tangan, menganyam, menyulam dan memute.
"Ujian keterampilan ini tidak dilakukan satu hari, tapi minimal dua hari," imbuhnya.
(mpr/mok)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini