"Cara melawan (pelarangan buku) adalah dengan terus menulis. Nggak boleh surut, nyalinya menciut. Harus digempur terus dengan buku sampai Kejagung bosan," kata Gus Muh yang disambut tepuk tangan pengunjung.
Hal itu dikatakan dia dalam seri diskusi 'Saatnya Penulis dan Pembaca Menolak Pelarangan Buku' di Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (16/3/2010).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dikatakan pria berpenampilan sederhana ini, buku karangannya itu baru sempat
beredar dua hari di toko buku. Namun, tanpa surat dan pemberitahuan kepadanya selaku penulis, buku itu langsung menghilang dari etalase.
Menurut Gus Muh, tujuannya menulis buku itu adalah untuk memberikan versi lain mengenai Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra seperti digambarkan oleh Taufik Ismail. Selama 15 tahun lebih, orang-orang selalu merujuk buku Taufik Ismail saat bicara mengenai organisasi kebudayaan berhaluan kiri di zaman Presiden Soekarno itu.
"Sebuah buku harusnya didebat daripada menangis-nangis di depan dewan dan
meminta agar buku itu ditarik. Saya mendengarnya seperti itu," kata Gus Muh
tanpa menjelaskan siapa yang dimaksudkannya.
Lebih lanjut Gus Muh mempertanyakan mengapa pemerintah pusat tidak mau mengakui eksistensi sejarah Lekra. Padahal, Pemerintah Daerah
Yogyakarta telah mengabadikan nama salah seorang aktivis Lekra, pelukis Affandi, menjadi nama jalan.
"Rekonsiliasi itu kini telah ada di jalan-jalan Yogya," ujarnya.
Gara-gara pelarangan bukunya itu, Gus Muh mengaku sempat didera kesulitan untuk 'bergerak'. Dia tidak bisa lagi menulis di media massa karena tulisannya selalu ditolak. Namun, dia tidak pantang menyerah dan kembali akan meluncurkan buku lagi dengan tema yang kontroversial.
"Sekarang sudah ada di kepala, tinggal menuliskan," pungkasnya.
(irw/mad)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini