New York, Kota Impian Multiras yang Tak Pernah Tidur

Laporan dari AS

New York, Kota Impian Multiras yang Tak Pernah Tidur

- detikNews
Rabu, 10 Mar 2010 07:53 WIB
New York - "I wanna wake up in a city that doesn’t sleep. To find I'm king of the hill, head of the list, cream of the crop, at top of the heap". Demikian penggalan lagu 'New York New York, yang dipopulerkan oleh Frank Sinatra pada tahun 1980.

Lagu itu menceritakan Kota New York yang tidak pernah tidur. Kota tempat orang-orang dari penjuru dunia menggapai ambisi dalam segala bidang, dari seni, pendidikan hingga keuangan.

Dalam lagu Frank Sinatra, pada bagian liriknya juga terdapat kata, "And if I can make it there, I'm gonna make it anywhere, it's up to you, New York, New York". Ya,  New York menjadi ukuran keberhasilan orang-orang di dunia, menaklukkannya ibarat menaklukkan dunia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kota terbesar di Amerika Serikat (AS) ini merupakan salah satu pusat keuangan dunia. Kegiatan finansial di New York Stock Exchange yang terletak di Wall Street, adalah salah satu penentu jatuh bangunnya keuangan dunia. Dalam dunia diplomasi, Kantor Pusat Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) juga bermarkas di kota ini sejak tahun 1951. Tak heran penduduk New York sangat multiras.

Hal ini reporter detikcom Nograhany Widhi Koesumawardani dapati saat menginjakkan kaki di Bandara John F Kennedy, Sabtu (6/3/2010) lalu. Saat menuju loket imigrasi, sekitar dua per tiga penumpang mengantre di  loket  visitor (pendatang), yang menandakan mereka bukan penduduk asli AS. Dari wajah mereka sebagian besar berwajah Asia, baik Asia Selatan, seperti India dan Pakistan atau Asia Timur seperti China dan Jepang.

Kondisi multiras ini juga didapati di kawasan Times Square, kawasan gaul New York di mana banyak panggung teater drama, gedung bioskop dan panggung pertunjukan lainnya berjajar di sepanjang j alan yang bernama Broadway. Panggung Broadway, ibarat batu loncatan, sudah menelurkan beberapa artis Hollywood ternama seperti Glenn Close, Hugh Jackman, artis legendaris Katherine Hepburn dan banyak lagi.

Kawasan Times Square, seperti yang detikcom jelajahi Sabtu (6/3/2010) lalu sangat ramai, meski waktu telah larut menjelang dini hari. Orang-orang dari berbagai dunia tumplek memenuhi trotoar yang lebarnya 3-4 meter. Pun juga di teater-teater, toko-toko jam bermerk, butik-butik adibusana ternama, toko-toko elektronik dan lainnya. Mereka rata-rata memakai mantel panjang dan sepatu boot.

Semakin larut, semakin hidup kawasan itu. Lampu-lampu toko, billboard layar lebar yang memutar iklan atau gambar bergerak, neon box ukuran raksasa, semakin menambah semarak kawasan itu.

Pedagang-pedagang makanan jalanan menghiasi tiap beberapa ratus meter saja. Seperti kebab, hot dog, burger, pretzel (roti yang dibentuk hati yang saling bertaut), kacang-kacangan, churros (sus panjang yang digoreng kering ala Spanyol) dan lain-lain, yang harganya, antara US$ 2-5. Satu lagi pertanda kemultirasan di New York.

Aksi pelukis jalanan yang bertebaran di sepanjang trotoar juga sesekali mencuri perhatian pejalan kaki. Mereka menggelar lukisannya di pinggir jalan dan memasang harga US$ 5-20 untuk satu lukisan. Mau dilukis ala karikatur menggunakan konte (pensil carbon untuk membuat karikatur) bisa, yang beraksi menggunakan airbrush juga ada. Rata-rata pelukis jalanan ini memiliki wajah oriental.

Mobil-mobil juga masih memenuhi jalanan. Kendati mobil memenuhi jalanan bahkan menimbulkan simpul kemacetan di perempatan, malam atau siang hari, tak ada perang klakson yang terdengar seperti di Jakarta.

Saat mengelilingi Kota New York dengan bus double decker Hop On Hop Off bertarif 44 dolar pada sore harinya, kemacetan di New York yang tidak menimbulkan polusi suara ini membuat jalan-jalan di Sabtu sore itu menjadi nyaman.
 
“Yah begitulah, macet di New York. Karena cuaca sedang baik jadi semua orang keluar rumah,” ujar pemandu wisata dari City Sight NY, Alif ketika berbincang dengan detikcom di atas bus.

Maklum, Sabtu itu adalah akhir dari musim dingin. Sepekan sebelumnya, imbuh Alif, salju-salju masih memenuhi jalanan kota. Tingginya, hampir selutut dan tentu saja membuat sulit jika membawa kendaraan di jalan.

“Minggu depan sudah mulai masuk musim semi,” kata wanita berkulit hitam ini.

Apa yang dikatakan Alif senada dengan pohon-pohon di kota yang mulai menampakkan kuncupnya di pucuk dahan-dahan yang sebelumnya meranggas. Cuaca masih cukup dingin untuk ukuran orang Indonesia seperti saya, sekitar 5-10 derajat Celsius. Membuat tangan saya, yang tidak pakai sarung tangan itu, nyaris mati rasa.

Saat berkeliling kota, di atas bus Alif berceloteh tentang bangunan di kanan-kiri yang dilewati bus. Gedung-gedung pencakar langit banyak menghiasi kota yang berjuluk Big Apple itu.

Salah satu yang terkenal, tentu saja Empire State. Gedung bertinggi 443,2 meter ini bergaya artdeco. Gedung yang dibangun pada 1931 ini merupakan tertinggi di kota bahkan di negara bagian New York selama 40 tahun, sebelum dibangun menara kembar World Trade Center pada 1972.

Saat WTC roboh karena diserang teroris pada 11 September 2001, Empire State kembali menjadi bangunan tertinggi.

Selain itu ada pula Chrysler Building yang tidak jauh dari Empire State. Dengan gaya artdeco, menara Chrysler ini bersinar di bagian atasnya. Bangunan ini menempati urutan ketiga bangunan tertinggi di New York, setelah WTC hancur. Tingginya sama dengan gedung New York Times yang baru didirikan pada tahun 2007, yaitu 365,8 meter.

Bus juga melewati kawasan Manhattan dan Brooklyn, juga dua jembatan bersuspensi, jembatan Manhattan dan jembatan Brooklyn. Kedua jembatan itu terletak berdampingan membelah East River, menghubungkan wilayah Kota New York dengan Brooklyn dan Manhattan.

Ngomong-ngomong, kenapa sih, New York dijuluki Big Apple?

“Oh tahun 1920-an banyak musisi jazz datang ke New York. Mereka tak punya pekerjaan. Lalu mereka bermain bersama dan mengatakan ‘Ini adalah kesempatan di dalam Big Apple’” ujar Alif.

Banyak versi beredar mengenai asal usul julukan Big Apple bagi Kota New York, utamanya seputar kedatangan musisi jazz di kota ini. Versi lain menyebutkan kata ‘Big Apple’ pertama kali dipakai reporter harian ‘Morning Telegraph’ John Fitzgerald saat meliput pacuan kuda tahun 1920. Saat itu Fitzgerald menyatakan siapa saja yang memenangkan pacuan ini akan mendapatkan ‘Big Apple’, suatu hasil/capaian atau reward yang luar biasa besar.

Come on, come through, New York, New York,” lantun Sinatra di akhir lagunya. (nwk/nrl)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads