Pada bagian akhir BAP tertulis bahwa Miranda menjawab pertanyaan penyidik dengan sukarela, tanpa paksaan, dan paham akan hak-hak hukumnya. Lalu kasus pun memasuki tahap persidangan. Di pengadilan Arizona, Miranda diganjar 20 tahun hukuman penjara. Dia langsung banding.
Kasus ini berlarut hingga naik ke Supreme Court of the United State (MA-nya Amerika Serikat). Di tingkat Supreme Court tersebut, sekitar tahun 1966, mayoritas hakim Supreme Court berpendapat hak-hak Miranda sebagai tersangka tidak dilindungi. Selain itu, saat pemeriksaan Miranda tidak didampingi pengacara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sekeluarnya dari penjara, Miranda malah tewas dalam perkelahian bersenjata tajam. Berbeda dengan saat Miranda ditangkap, kepada tersangka penusuk, polisi malah membacakan kalimat:
”You have the right to remain silent. Anything you say can and will be used against you in a court of law. You have the right to speak to an attorney, and to have an attorney present during any questioning. If you cannot afford a lawyer, one will be provided for you at government expense,”.
Kalimat tersebut dalam bahasa Indonesia terjemahan bebas berarti, “Anda berhak diam. Apa pun yang Anda katakan bisa digunakan sebagai bukti di pengadilan. Anda berhak untuk menunjuk pengacara yang hadir saat diperiksa. Jika Anda tidak mampu menghadirkannya, seorang pengacara akan ditunjuk untuk Anda oleh pemerintah,”
Atas kasus ini, dunia hukum di AS pun gempar. Apalagi, saat itu sedang ramai
gerakan hukum untuk memberikan bantuan hukum bagi setiap warga negara oleh
pemerintah. Atas kejadian ini, lalu dikenallah istilah Peringatan Miranda atau Miranda Warning, sebuah teriakan yang diucapkan polisi AS ketika menangkap tersangka. Seperti nampak di film-film besutan AS.
Pada suatu malam, di Jalan Benda, Kemayoran, Jakarta Pusat, 3 September 2009,
seorang pemulung yang usai memulung, tiba-tiba ditangkap orang tak dikenal.
Jangan harap yang keluar dari mulut penangkap layaknya Peringatan Miranda, tapi malah tuduhan sepihak. “Ini barang siapa? Cepat pakai baju dan bawa KTP, ikut saya ke kantor polisi!” perintah sang penangkap sambil menarik tangan tersangka ke belakang.
Lantas, jangan harap pula, malam itu tersangka didampingi pengacara. Malah sebaliknya, BAP dipalsu, tanda tangan tak diketahui oleh tersangka. Semua dilakukan di ruang penyidikan Kanit Narkoba hingga subuh menjelang. Jangan harap ada perlakuan yang mengedepankan HAM, tersangka pun disiksa dan dipaksa mengakui kemauan polisi.
Dialah Chairul Saleh, pemulung malang tersebut. Semua rekayasa terungkap di persidangan, tak ada saksi satu pun (pihak kepolisian) yang mengakui adanya penangkapan tersebut. Begitu pun dengan keterangan terdakwa yang menyangkal semua dakwaan dan BAP.
“Jadi, kalaupun jaksa mau menuntut, bagaimana bisa? Syarat 2 alat bukti tidak terungkap dan tak terbukti di persidangan. Mau menuntut berdasarkan apa?” tanya balik kuasa hukum Chairul Saleh, Raja Nasution, di PN Jakarta Pusat, Jalan Gajah Mada, Senin, (8/3/2010).
Lantas, bagaimana dengan kasus Saleh Saleh lainnya? Apakah Indonesia harus menunggu Peringatan Saleh?
(asp/mad)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini