Kisah Ratu Shima, MA dan Harapan Besar Hadirnya Keadilan

Kisah Ratu Shima, MA dan Harapan Besar Hadirnya Keadilan

- detikNews
Senin, 01 Mar 2010 07:03 WIB
Jakarta - Suatu siang di Keling, Kelet, Jepara, Jawa Tengah, sekitar tahun 630 M. Saat itu, ratusan warga Kerajaan Kalingga berkumpul di alun-alun depan istana. Mereka semua menunduk, merasa bersalah dan siap menerima hukuman. Pemicunya, sebuah perhiasan emas yang dihamparkan di tengah alun-alun hilang pada hari ke 40. Siapakah pencurinya ?

Kejadian tersebut bermula ketika pemimpin negeri, Ratu Shima menguji kepatuhan rakyatnya terhadap hukum. Saat itu, Kerajaan Kalingga merupakan kerajaan yang terhampar sepanjang pantai utara Jawa dan mencapai puncaknya ketika dipimpin seorang raja perempuan.

Pengaruh kewibawaan kerajaan dan penegakan hukum menyebar hingga ke negeri Tiongkok. Menurut catatan para saudagar Tiongkok, nyaris tak ada pelanggaran hukum di negeri cikal bakal Kerajaan Galuh dan Kerajaan Mataram Kuno tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hingga tibalah waktu Ratu Shima menguji kepatuhan hukum rakyatnya. Untuk
mengujinya, dia hamparkan segala perhiasan emas dan barang berharga di alun-alun kerajaan. Hari pertama, harta tak ada yang mengambil. Hari ke dua pun serupa.

Hingga hari ke 39, tak ada satupun warga yang berani menyentuh perhiasan yang tak ternilai tersebut. Sampai datang malam ke 40, sebuah perhiasan emas raib dari tempat semula. Seluruh rakyat pun gempar.

Lalu, untuk mengungkap siapakah pelakunya, dikumpulkanlah seluruh rakyat di alun-alun. β€œSiapakah yang mencuri perhiasan ?,” kata Ratu Shima kepada rakyatnya.

Semua diam dan menunduk. Tak satu pun yang angkat bicara. Hingga datanglah dari belakang kerumunan, dengan tergopoh-gopoh, seorang perawat kuda memberanikan berbicara. ”Maafkan hamba tuanku, saya siap dihukum mati jika salah. Tapi saya melihat dengan mata kepala saya sendiri jika putra makhota yang mengambil perhiasan tersebut,” ujarnya.

Semua tercekat. Tak terkecuali perempuan nomor satu di kerajaan tersebut. Seakan tak ada yang percaya dengan kesaksian seorang perawat kuda tersebut. Guna memastikan, dipanggillah putra makhota. Dan lagi-lagi, semua seakan tak ada yang percaya, jika putra makhota mengakui semua perbuatannya.

Mendapat pengakuan ini, Ratu Shima, penguasa kerajaan, ibu yang membesarkan putra makhkota sejak kecil langsung bersabda, β€œWahai prajurit, potong tangan putra makhota sebagai hukuman. Hukum harus ditegakkan dan supaya negeri dijauhkan dari kutukan sang pencipta,” titah ratu dengan tegas.

Rakyat pun tercekat. Mereka kagum dan takjub atas keberanian sang raja menghukum orang yang bersalah, meski anaknya sendiri. Kisah Ratu Shima yang terkenal dengan kecantikan, kewibawaan serta ketegasannya kini dapat dilihat di prasasti Kalingga serta catatan para saudagar Tiongkok.

Suatu siang, di ruang Kusumah Atmadja, Gedung Mahkamah Agung (MA), Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Kamis 25 Februari 2010 lalu. Di depan petinggi negeri dan duta besar negara sahabat, Ketua MA, Harifin Tumpa memaparkan hasil kinerja pemegang palu keadilan sepanjang 2009.

Dari 319 kasus kasasi korupsi, 34 diputus bebas, sedangkan setengahnya diputus ringan yaitu kurang dari 2 tahun. Tak hanya itu, uang denda 3 juta kasus tilang juga tak tentu rimbanya.

Beda MA, beda pula Indonesia Corruption Watch (ICW).Β  Menurut data ICW, bahkan hakim di lingkungan MA, mempunyai β€œkebiasaan” membebaskan para tersangka β€œmaling” uang negara tersebut.Β  Bahkan angka ini selalu naik dari tahun ke tahun.

Pada 2005, ICW mencatat putusan bebas sebanyak 22,22%, 2006 naik menjadi 32,13%, 2007 naik menjadi 62,39 %, 2008 menjadi 62,39 % dan 2009 menjadi 59,26 %. Dengan total terdakwa korupsi mencapai ratusan orang.

Menanggapi laporan akhir tahun ini, Koordinator Badan Pekerja ICW, Danang Widoyoko menilai putusan ini sebagai bentuk ketidakseriusan MA memerangi kejahatan korupsi. Apalagi, kasasi korupsi hanya menyangkut angka kasus, bukan seberapa banyak terpidana yang dibebaskan.

"Itu kasusnya cuma 34. Tapi MA tak menyebutkan berapa jumlah terpidananya kan? Kalau data kami, jumlahnya ratusan," ujar Danang saat berbincang-bincang dengan detikcom.

Sistem peradilan Kerajaan Kalingga memang berbeda dengan sistem peradilan Indonesia modern saat ini. Waktu itu, tak ada penyidik, penuntut atau hakim. Waktu itu belum ada KUHP atau distribusi kekuasaan. Tapi pesannya sama, keadilan harus ditegakkan. Kejahatan harus ditumpas. Meski yang salah adalah anak pemimpin negeri atau anak hakim sekalipun.

(asp/mad)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads