208 Tahun Victor Hugo dan Romantisme Sastra Prancis

208 Tahun Victor Hugo dan Romantisme Sastra Prancis

- detikNews
Jumat, 26 Feb 2010 08:42 WIB
Jakarta - Quasimodo, laki-laki bongkok buruk rupa yang telah puluhan tahun berada di bawah lonceng Gereja Notre-Dame, Paris, ingin bergabung dengan kehidupan nyata. Sayangnya, dia dalam cengkraman kekuasaaan majikannya, Frollo.

Hingga datanglah hari itu, 6 Januari 1482, "Festival of Fools" di Paris. Atas bantuan teman-temannya, dia bisa menghadiri pesta rakyat tersebut.

Di situlah ia bertemu dan jatuh cinta dengan seorang wanita Gipsy cantik bernama Esmeralda. Dalam festival tersebut, Quasimodo mendapatkan gelar "Raja Orang-orang Bodoh".

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sayangnya, semua kebahagiaan itu lenyap setelah Frollo mengetahui Quasimodo
melanggar larangannya dengan menghadiri "Festival of Fools". Terlebih, setelah itu, Frollo pun ikut jatuh cinta terhadap Esmeralda.

Lantas, mengalirlah melodrama yang penuh tragedi. Quasimodo ditangkap, dicambuk dan dihukum, dibakar hidup-hidup. Tak hanya itu, muncullah Phoebus, tentara berpangkat kapten yang juga mencintai Esmeralda.

Roman fenomenal Notre-Dame de Paris ini memuat gagasan-gagasan bertema kebebasan berseni dan kebebasan bermasyarakat, baik secara implisit maupun eksplisit.

Notre-Dame de Paris merupakan karya Victor Marie Comte Hugo  atau lebih beken dengan Victor Hugo. Ia lahir pada 26 Februari 1802. Jumat (26/2/2010) ini, Victor Hugo genap 208 tahun. Ia meninggal pada usia 83 tahun.

Selain Notre-Dame de Paris, sastrawan besar Prancis ini juga membuat Les Miserables, salah satu karya  terbesarnya yang berlatar kekacauan politik di Perancis pasca kekuasaan Napoleon. Sebagai sastrawan yang juga politikus, menjelmalah karyanya menjadi hasil besutan imajinasi, drama, intrik dan rekaman revolusi Prancis dengan apik.

Victor Marie Comte Hugo yang lahir di Besancon, Prancis, mudanya adalah orang yang sangat konservatif. Tetapi pria yang mengenyam usia hingga 83 tahun ini berubah haluan ketika usia mulai menua, menjadi pendukung republikanisme dan Uni Eropa.

Hugo yang merupakan anak seorang putra jenderal yang cukup terkemuka di zaman Napoleon telah menulis sejak usia 15 tahun dengan setting Revolusi Perancis. Sebagai politisi, Victor Hugo menjadi saksi hidup pergolakan pemerintahan.

Hingga akhirnya rezim yang berkuasa jatuh dan dia pun diusir dari tanah airnya. Ketika dia kembali ke Prancis pasca runtuhnya Kekaisaran Kedua (1870) dan berdirinya Republik Ketiga, dia ikut ambil bagian dalam lembaga legislatif.

Selama hidup sampai akhir hayatnya, Hugo menjadi salah satu penulis aliran romantisme abad ke-19 dengan puluhan karya puisi serta roman yang telah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Atas dedikasinya, Hugo pun sering dianggap sebagai salah satu penyair terbesar Perancis.

(asp/rdf)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads