Setelah lulus dengan gelar terbaik, Chen bukannya menjemput orang tua, istri, dan anaknya, tapi malah mengaku lajang. Bermodal kecerdasan, dia berhasil memuslihati dan menikahi anak raja.
Bagaimana dengan Qin, istri Chen? Qin berkeluh keringat dan membanting tulang guna merawat anak-anak serta orang tua Chen. Hingga tibalah wabah kelaparan melanda desanya, salah satu desa termiskin di China.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berlinang air mata, Qin mengadu ke Hakim Bao. Hakim yang terkenal adil dan bijaksana. Tindakannya tegas, "Hukuman mati untuk menantu raja,". Jabatan dan nyawa adalah taruhannya.
Perlawanan keras langsung dimunculkan permaisuri kerajaan. "Tak ada orang nondarah biru yang boleh mencampuri urusan kerajaan," ujarnya. Lantas apa kata Hakim Bao? "Keluarga raja dan rakyat berkedudukan sama di muka hukum. Jadi, tetap harus tunduk pada hukum negara".
Tindakan intimidasi dari kerajaan langsung dibalas Bao dengan menanggalkan toga dan jubah hakimnya. Sedangkan Chen, menantu raja, yang telah menelantarkan, membohongi dan menyengsarakan istri dan orang tuanya meretas ajal di pedang algojo.
Mengenang Judge Bao, hakim legendaries berkulit gelap, kontras dengan warna kulit orang China kebanyakan, pagi ini, di gedung Mahkamah Agung (MA) ditantang kredibilitasnya. Nama baik dipertaruhkan. Hukum harus tegak, tapi hakim tetap harus dihukum jika bersalah.
Di depan 7 anggota Majelis Kehormatan Hakim, hakim Endratno Rajamai, hakim di Pengadilan Negeri Serui, Papua, menghadapi ancaman hukuman. Dia di duga memeras istrinya hingga 66 kali dengan nilai total sebesar Rp 84,5 juta. Pada pekan lalu, dia urung usai di sidang karena syok, stress dan nyaris pingsan pada pertengahan sidang.
Hingga akhirnya sidang ditunda selama sepekan. "Apakah anda tak punya harga diri sebagai hakim?" cecar anggota majelis, Chatamarasjid Ais pekan lalu.
(asp/irw)