Patih Laman kini memang tidak muda lagi. Pria berkulit gelap itu telah berumur 89 tahun. Namun mesti tua dan sakit-sakitan, Patih Laman masih menyempatkan diri datang ke Pekanbaru. Tubuh yang renta itu, berangkat dari kampung halamannya di kawasan hutan penyanggah Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Jaraknya lebih dari 250 km untuk bisa sampai ke ibukota Provinsi Riau.
Dia datang berkeluh kesah kepada sejumlah jurnalis termasuk detikcom, pada Jumat (05/02/2010). Dia berniat menemui Gubernur Riau Rusli Zainal. Sayangnya, sang kepala daerah itu tidak berada di tempat.
Niat kakek bertubuh kecil ini bertemu Gubernur Riau bukan untuk urusan sepele. Dia datang jauh-jauh terkait penyelamatan kawasan hutan untuk suku pedalaman Talang Mamak. Patih Laman adalah ketua adat tertinggi di suku tertua di Riau itu. Suku ini mendiami di kawasan penyanggah serta sebagaian lagi berada di dalam kawasan taman nasional.
"Saya mau ketemu Pak Gubernur, untuk mengembalikan piala Kalpataru kepada pemerintah pusat. Penghargaan yang pernah saya dapatkan itu, tidak ada gunanya. Pemerintah tidak mau menjaga hutan alam kami. Hutan alam kami terus dijarah pendatang, padahal kaum kami hidup dari kemurahan hutan itu sendiri," kata Patih Laman dengan sorot mata yang kosong.
Patih Laman pernah menerima penghargaan tertinggi bidang lingkungan hidup dari pemerintah pusat. Piala Kalpataru dia terima dari Presiden Megawati Soekarnoputri, pada tahun 2003 silam. Baginya, penghargaan itu tidak ada gunanya, bila pemerintah sendiri tidak konsisten menyelamatkan sisa hutan itu sendiri terumama bagi kehidupan suku Talang Mamak.
"Hutan kami terus menerus dijarah, pemerintah daerah dan pusat tidak mau tahu soal nasib Talang Mamak. Kami ini hanya bisa hidup dari hutan, tapi justru jantung kehidupan kami itu sendiri yang terus menerus dibabat habis oleh pendatang. Pemerintah tidak mau perduli. Makanya saya akan kembalikan piala Kalpataru ini," ujar Patih Laman.
Patih Laman mengaku kini tidak lagi kuasa membendung laju kerusakan hutan di kawasan penyanggah TNBT. Dulu, di era tahun 90-an, Patih ini gagah berani menghadang semua pihak yang akan merambah hutan alam mereka. Dia rela mempertaruhkan nyawanya demi keselamatan hutan. Walau kadang yang dihadapi di lapangan harus berhadap dengan aparat.
Sikap Patih Laman yang konsisten ini pula, sebelum Kalpataru dia terima, terlebih dahulu dunia Internasional memberikan penghargaan tertinggi bidang lingkungan. Dia menerima Award dari WWF Internasional pada tahun 1999 di Kinibalu, Malaysia. Saat ke Malaysia itulah, Patih Laman mengaku, seumur hidupnya baru memiliki KTP karena harus mengusur paspor.
Kini gaek itu sudah patah arang. Baginya kerusakan hutan di kawasan TNBT merupakan ancaman kematian untuk suku Talang Mamak. Kalpataru bukanlah bagian dari akhir perjuangannya untuk menyelamatkan hutan. Dia terus menerus memperhatikan nasib hutan alam yang kini sudah disulap menjadi kebun kelapa sawit milik pengusaha ataupun pejabat pemerintah daerah sendiri.
"Karena tidak bertemu dengan gubernur, rencananya, Senin (08/02/2010) piala Kalpataru akan saya pulangkan lagi. Untuk apa saya menerima Kalpataru, kalau hutan kami terus dijarah. Tanpa ada niat baik dari pemerintah untuk menyelamatkan hutan, tentulah hutan kami akan habis," kata Patih Laman.
(cha/djo)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini