Padahal, di dua mata pelajaran lainnya, Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia, gadis berambut panjang ini mendapatkan nilai lumayan, 8. Nilai itu jauh di atas standar kelulusan yang ditetapkan pemerintah saat itu, 4,26.
"Saya jatuh di mata pelajaran matematika, dapat 4. Hanya selisih sedikit, nol koma," ujar Indah saat 'Syukuran Kemenangan Gugatan UN' di Kantor LBH Jakarta, Jl Diponegoro, Jakarta Pusat, Rabu (25/11/2009).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Shock, kaget. Sekelas yang tak lulus cuma 2 orang, saya dan teman saya lainnya," tutur alumni SMA PSKD 7 Depok jurusan IPA itu. Padahal, selama 3 tahun menempuh pendidikan di SMA, Indah mengaku selalu masuk 10 besar. Tak pernah luput sekalipun. Dan untuk mempersiapkan diri dalam UN, Indah mengikuti bimbingan belajar setahun sebelumnya, atau sejak naik ke kelas 3 SMA.
Bukan hanya satu nilai mata pelajaran yang hanya selisih sedikit dari standar nilai pemerintah itu saja yang membuat dia gemas. Belakangan dia mengetahui, banyak teman-temannya yang memiliki nilai sedikit di atas standar di tiga mata pelajaran itu malah lulus. Ini membuat dirinya 'mutung'.
"Teman-temanku banyak yang nilai tiga mata pelajarannya 5 tapi lulus. Nilaiku yang 8 ada dua, cuma satu yang 4, nggak lulus. Ya, yang nilainya 8 jadi percuma. Buat apa belajar keras-keras di 2 mata pelajaran itu, nilai bagus-bagus kalau tak ada gunanya," kenang Indah dengan kecewa.
Akhirnya, Indah pun mengikuti kursus privat untuk mengejar ujian Kejar Paket C pada 2 bulan setelahnya. Hasilnya, matematikanya mendapatkan nilai 9, dan mata pelajaran lainnya mendapatkan nilai 7. Masalah tak lantas selesai, formulir ujian masuk Universitas Indonesia (UI) yang dibeli dengan harga Rp 350 ribu pun sia-sia.
"Karena saat itu UI tak menerima ijazah Kejar Paket C," ujar Indah.
Beberapa universitas swasta pun ada yang menolaknya. Setelah mencari-cari informasi mengenai sekolah di universitas, Indah pun diterima di program D3 Manajemen Keuangan YAI, Kramat Raya. Kini, dia pun telah lulus dari universitas itu, tepat 3 tahun.
"IPK terakhir saya 3,5 dan sekarang sedang mencari kerja. Saya ingin membuktikan, bahwa tak lulus UN bukan berarti tak mampu di universitas," ujar Indah.
Perjuangan Indah ini, didukung oleh orang tuanya, Kristiono (50) yang saat mendengar Indah tak lulus UN langsung meminta bantuan kepada LBH Jakarta. Hingga akhirnya ada sekitar 58-an orang korban UN mengajukan citizen law suit kepada pemerintah pada tahun 2006 lalu. Hingga akhirnya Mahkamah Agung (MA) memutuskan berpihak pada para penggugat ini 14 September 2009 lalu.
"Saat itu saya pusing, karena dua anak saya yang menghadapi ujian, satu ujian SMP satu lagi SMA," ujar Kristiono yang mata kanannya tampak dibalut kasa usai operasi katarak 2 hari lalu itu.
Indah pun mencoba bersuara agar pemerintah tak hanya menggunakan UN sebagai satu-satunya syarat lulus. "Bisa nilai UN, plus nilai raport dan nilai kepribadian dan perilaku sehari-hari. Jangan hanya UN saja," tandas Indah yang mulai optimis menatap masa depan ini.
(nwk/ape)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini