PDI Perjuangan dan (Belum) 'Matinya Toekang Kritik'

PDI Perjuangan dan (Belum) 'Matinya Toekang Kritik'

- detikNews
Rabu, 18 Nov 2009 07:55 WIB
Jakarta - Buah dari sebuah kritik sering kali tak selalu baik seperti niatnya. Alih-alih didengarkan, kritik justru kerap menuai cibiran, anggapan sirik, bahkan cacian terhadap si pengkritik.

"Saya kritik bukan sirik, tapi biar hidup tambah baik," kata Raden Mas Sukihiyatno.

Raden Mas Sukihiyatno diperankan oleh Butet Kertaradjasa dalam Monolog 'Matinya Toekang Kritik' karya Agus Noor, di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Selasa (17/11/2009) malam. Acara ini digelar oleh Fraksi PDI Perjuangan DPR RI.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lakon Matinya Toekang Kritik berkisah tentang Raden Mas Suhikayatno, tukang kritik nomor wahid yang hidup melintasi lorong zaman. Dari zaman ke zaman  Raden Mas Suhikayatno mencoba bertahan menjadi tukang kritik meski akibat perbuatannya tersebut, ia selalu mendapat cibiran dan cacian bahkan namanya dihapus dari ingatan zaman.

Sosoknya bagai penggerak sejarah, yang kemudian dilupakan dan kesepian. "Kritik yang benar bisa merubah peradaban dan mengendarai zaman," ujar Sukihayatno lantang.

Kemahiran Sukihayatno dalam mengkritik juga diakui oleh pembantunya, Bambang. Menyitir penilaian orang, Bambang menyebut bosnya itu sebagai orang yang melintasi zaman: Socrates di Yunani, Gallileo di Italia, Voltaire di Perancis, Mahatma Ghandi di India, Mao Ze Dong di China dan Anwar Ibrahim di Malaysia.

"Majikanku konsisten mengkritik sejak lama," ujar Bambang yang berdialek kemayu itu.

Meski apapun yang dilakukan Bambang selalu menjadi bahan kritik oleh Sukihayatno, namun Bambang mengakui kritik majikannya itu jujur, ikhlas dan ada kebenaran di dalamnya.

"Ada tukang kritik asal jeplak, kritis asal berani. Dari luar pagar teriak-teriak, ketika sudah dipanggil di dalam malah bikin tambah rusak," ujar Bambang.

Siap Mengkritik dan Dikritik


Dalam kata sambutannya sebelum lakon dimulai, Ketua Fraksi PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo mengajak meresapi apa yang menjadi karya seniman. Menurutnya, ketika situasi politik sedang karut marut dan terlihat kotor, seni dapat membersihkan dan mendekatkan manusia pada kemanusiaanya.

Ia pun mengingatkan para anggota DPR yang hadir agar selalu kritis, sebagai modal bagi tugas pengawasan yang diembannya. Selain harus bisa mengkritik, kata dia, anggota dewan juga harus siap dikritik.

"Tidak ada gunung yang lebih tinggi dan tidak  ada laut yang lebih dalam," ujar Tjahjo.

Mengenai kritikan yang sering disuarakan F-PDIP pada pemrintah, Tjahjo juga menjelaskan, kritik  tersebut bukanlah asal kritik. Namun didahului pemikiran cermat dan ada tolak ukurnya.

"Posisi fraksi sebagai penyeimbang pemerintah diartikan bahwa Fraksi PDI perjuangan akan melakukan kritik terhadap kebijakan pemerintah yang menyimpang dari UU yang ada, termasuk kebijakan program yang tidak berorientasi kepada kepentingan rakyat dan Fraksi PDI Perjuangan akan men-support program pemerintah yang memang dalam kenyataannya, program tersebut prorakyat," jelas Tjahjo.

Dalam pementasan yang juga dihadiri oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD ini, Butet juga  membuat lelucon dengan mengartikan  beberapa nama tokoh nasional.

"Mahfud MD. Mah, mahir membuat kebijakan yang membahagiakan rakyatanya saat situasi hukum yang hancur-hancuran," kata dia.

Setelah beberapa nama disebut, ia pun tak tanggung-tanggung megartikan nama  Megawati Soekarnoputri.

"Megawati, artine 'meneng' 'gawat'. Nek wis meneng gawat (Kalau sudah diam gawat)," kata Butet tentang sikap Ketua Umum PDI Perjuangan itu saat koalisi PDIP dan Demokrat tinggal menunggu 'gong' darinya.

"Ora sido koalisi ye...(Nggak jadi koalisi)," ejek Butet yang disambut riuh ratusan penonton yang hadir. (lrn/ape)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads