Bahaya Longsor Masih Mengancam Pasca Gempa Sumbar

Bahaya Longsor Masih Mengancam Pasca Gempa Sumbar

- detikNews
Rabu, 07 Okt 2009 14:24 WIB
Padang - Longsor akibat gempa 7,6 SR yang melanda Sumatera Barat Rabu (30/9) silam masih mengancam.  Longsor bisa terjadi bila ada gempa maupun hujan deras.

Analisis tersebut disampaikan Tim Studi Gempa dan Longsor Teknik Geologi UGM. Tim di bawah pimpinan Prof Dr Dwikorita Karnawati ini melakukan pengamatan geologi pasca gempa Padang di Kota Padang, Pariaman, Padang Panjang hingga Solok.

Berikut laporan tim tersebut sebagaimana diterima detikcom, Rabu (7/10/2009):

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pengamatan kondisi geologi pasca gempa di wilayah Kota Padang dan sekitarnya telah dilakukan oleh Tim studi gempa dan longsor. Lokasi yang diamati terutama meliputi Kota Padang, Pariaman, Padang Panjang hingga Solok. Pengamatan terutama dilakukan untuk mengkaji kondisi geologi yang berpengaruh terhadap tingkat kerusakan bangunan dan longsoran akibat gempa bumi.

Dari hasil pengamatan dan analisis yang dilakukan nantinya dapat disusun suatu peta bahaya gempa dan longsor, yang sangat diperlukan untuk arahan penyempurnaan tata ruang dan peraturan pendirian bangunan di tahap rekonstruksi, seperti halnya yang pernah dilakukan di wilayah Provinsi DIY dan Kabupaten Bantul.

Dari hasil pengamatan dan pengukuran di lapangan, maka dapat diketahui bahwa secara umum wilayah yang terkena dampak gempa bumi 30 September yang lalu dapat dibedakan menjadi 2 wilayah utama, yaitu:

1) Dataran Aluvial, yang mencakup Kota Padang hingga Kota Pariaman, yang mengalami banyak kerusakan bangunan akibat goncangan gempa.

Wilayah ini tersusun oleh endapan yang bersifat lepas, berupa lempung, lempung pasiran dan pasir kerikilan. Karena sifat lepas pada butiran tanah penyusun dataran aluvial tersebut, maka saat terjadi gempabumi, getaran gelombang gempa mengalami komplikasi menjadi rambatan permukaan yang bersifat mengayun baik ke arah vertikal maupun ke arah horisontal, yang akhirnya mengakibatkan kerusakan/
robohnya bangunan.

Sebagian besar bangunan yang roboh atau miring cenderung mengarah ke arah Barat Laut-Tenggara, yaitu mengarah ke arah episenter gempa yang berada di posisi relatif Barat Laut kota Padang. Namun berbeda dengan dampak gempa di Yogyakarta, kerusakan yang terjadi dataran Alluvial di Padang tidak menunjukkan sebaran pola tertentu yang dikontrol oleh kondisi tanah atau kondisi geologi, justru tampak lebih dikontrol oleh kondisi konstruksi bangunan.

2) Wilayah Pebukitan Keras, yang meliputi areal Perbukitan Barisan dari Padang Panjang hingga Solok, yang mengalami banyak longsor akibat gempa bumi. Perbukitan tersebut terusun oleh batuan beku vulkanik (terutama tuff, pumis dan andesit) dan batuan metamorf (terutama sekis), merupakan perbukitan yang terbentuk oleh patahan aktif yang dikenal dengan nama sesar Semangko.  Jadi di dalam zona patahan tersebut batuan penyusun perbukitan ini juga terpotong-potong oleh retakan-retakan batuan dan bersifat rapuh. Akibatnya, saat diguncang oleh gempabumi 30 September 2009, banyak terjadi runtuhan, jatuhan dan luncuran batuan pada lereng Perbukitan Barisan, terutama yang dilalui oleh jalur patahan.

Beberapa titik longsor tanah yang terjadi telah menimbun lebih dari 100 orang di dua dusun, yaitu Dsn Kapalo Koto dan Lubuk Lawe di Desa Cumanak, Nagari Tandikek, Kec Patamuan, Kabupaten Padang Pariaman. Lereng batuan yang longsor merupakan lereng yang diperkirakan berada di jalur patahan. Kemiringan lereng berkisar antara 30o s/d 40o tersusun oleh tuf batu apung yang menumpang di atas batuan beku andesit. Batuan tuf tersebut tampaknya telah teralterasi sehingga membentuk tanah penutup berupa lempung lanauan yang bersifat porus dan tebal (hingga mencapai lebih dari 10 m).

Jadi kondisi tanah di zona patahan tersebut sangat rapuh, dan masih berpotensi untuk longsor lagi, apabila diguncang gempa atau terguyur oleh hujan deras. Sehingga zona ini disarankan untuk ditutup selama hujan, untuk menghindari terjadinya korban jiwa apabila gempa susulan atau pun longsor susulan terjadi.

Lokasi longsor lainnya yang perlu diwaspadai adalah di tebing ruas jalan Malalak menuju ke Bukit Tinggi, yang tersusun oleh batuan beku andesit yang tertutup oleh batuan vulkanik berupa tuf pumisan, yang telah lapuk menjadi tanah lempung pasiran yang bersifat sangat porus dan lolos air. Kemiringan lereng tebing berkisar antara 40o hingga 60o. Akibat curamnya lereng dan rapuhnya kondisi tanah, maka saat gempa luncuran tanah dengan bongkah-bongkah batuan terjadi.

Zona yang mengalami luncuran tanah tersebut mencapai sepanjang 2 km. Luncuran yang telah terjadi mengakibatkan sebagian ruas jalan terutup. Luncuran susulan masih berpotensi terjadi apabila dipicu oleh hujan deras atau pun gempa susulan.

Ruas jalan menuju Padang – Bukit Tinggi juga mengalami luncuran dan jatuhan bongkah-bongkah batuan berupa batuan beku andesit dan batuan metamorf sekis. Diameter bongkah batuan yang meluncur hingga mencapai 2 m. Secara alamiah (sebelum gempa bumi) batuan di lereng jalan tersebut memang telah rapuh,
retak-retak akibat adanya kekar-kekar dan zona patahan. Sehingga pada saat diguncang oleh gempa, bidang-bidang retakan yang telah ada sebelumnya menjadi semakin rapuh dan akhirnya runtuh sebagai jatuhan dan luncuran batuan. Onggokan bongkah batuan yang telah bergerak masih mungkin lagi meluncur atau jatuh ke arah bawah lereng (ke arah jalan), apabila diguncang oleh gempa susulan atau pun hujan deras.

Jadi berdasarkan hasil pengamatan geologi di lapangan, disarankan agar zona-zona longsoran tanah dan jatuhan/luncuran batuan di atas perlu diwaspadai. Pemetaan lebih lanjut mengenai zona bahaya longsoran dan goncangan gempa perlu dilakukan untuk menunjang penyempurnaan tata ruang dan pengembangan wilayah rawan gempa dan longsor.
(amd/nrl)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads