Nagari Tandikek kini tersohor ke seluruh dunia. Puluhan wartawan dari media nasional dan internasional berdatangan ke lokasi tanah longsor untuk memberitakan nasib ratusan nyawa warga yang tertimbun longsoran tiga gunung yang mengapit desa itu. Kabar duka inipun terus menyebar.
Jadi tak guna heran, bila lokasi tanah longsor itu kini menjadi ramai dikunjungi orang pascagempa. Padahal desa ini dulunya hanya perkampungan kecil yang ada di lereng perbukitan. Tak ada yang istimewa dari perkampungan itu. Masyarakatnya hidup dari pertanian padi di sawah.
Namun kini desa-desa itu rata dengan tanah. Tak ada lagi sisa rumah yang terlihat. Timbunan tanah longsor mencapai ketinggian 10 meter. Desa-desa itu laksana lapangan dengan lebar 400 meter dan panjang 30 km. Tiga desa itu adalah, Pulau Air, Lareh Nan Panjang dan Lubuk Laweh yang dibelah dengan sungai.
Kini saban hari minimal ribuan orang berkunjung ke sana. Mereka bukan mau memberi pertolongan pada korban gempa, melainkan ingin melihat sisa-sia hancurnya perkampungan itu. Mereka datangย dari berbagai daerah termasuk luar provinsi Sumbar.
Para 'wisatawan' itu cuma mejeng sembari berfoto ria di lokasi perkampungan yang rata dengan tanah. Mulai pagi sampai sore hari, ada saja warga yang berkunjung. Padahal banyaknya warga yang 'berwisata' ini membuat repot petugas. Jalan kecil yang beraspal ala kadarnya itu menjadi sempit dan mempersulit kerja tim evakuasi saat menemukan jasad yang terkubur.
Pihak kepolisian memang sudah memberi batas dalam radius 3 km dari lokasi tanah longsor. Warga tidak boleh membawa kendaraan roda dua, terkecuali tim evakuasi. Namun hal itu tidak menyurutkan warga untuk tetap berwisata.
"Masyarakat datang ke kampung kami ini bukan ingin memberikan sumbangan, tapi hanya melihat-lihat saja. Mereka cuma pinik ke mari. Buktinya kotak amal yang kami sediakan, tak juga ada isinya," keluh Imron (45) warga Tandikek kepada detikcom.
(cha/djo)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini