Dalam UU aquo Pasal 5 menyatakan "Tindak pidana terorisme yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dikecualikan dari tindak pidana politik, tindak pidana dengan motif politik, dan tindak pidana dengan tujuan politik, yang menghambat proses ekstradisi".
Menurut Umar Abduh selaku pemohon uji materi terorisme dan politik tidak mungkin dipisahkan karena merupakan agenda campur tangan asing.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Umar juga menilai tidak mungkin terorisme tidak terorganisasi, terlebih lebih yang mengedalikan asing, yang menandanai asing.
"Operatornya, pimpinannya asing," kata Umar.
Selain itu Umar juga mempermasalahkan pasal 17 ayat (1), menurutnya isi dalam pasal tersebut menyatakan tindakan terorisme yang tidak terorganisasi itu tidak bisa ditindak, karena yang harus ditindak yang terorganisir, ada perintah dan ada pengurus.
"Ini kita anggap sesuatu yang bertentangan," tegasnya.
Menurut Umar, UU terorisme lemah karena melindungi teroris, karena jika para teroris mengatakan saya tidak ada yang menyuruh, saya sendiri itu tidak bisa dikenakan hukuman.
"Kita anggap UU ini tidak bisa dipertahankan. Siapapun yang melakukan tindakan seperti ini harus dikenakan sanksi," tandasnya.
Para pemohon yang mengajukan uji materi UU Tindak Pidana Terorisme, yakni Umar Abduh, Haris Rusly, John Helmi Mempi dan Hartsa Mashriul HR.
Pemohon meminta kepada Mahkamah agar membatalkan Pasal 5, Pasal 17 ayat (1), (3) dan Pasal 45 dalam UU Tindak Pidana Terorisme karena dinilai bertentangan dengan Pasal 27 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28I ayat (4) dan pasal 30 ayat (1) UUD 1945.
(did/irw)