"Yang dimaksud dengan 'for sale' di situ adalah penguasaan atas dasar invenstasi atau pengelolaan saja (bila dibeli WNA), dan tidak akan mengubah statusnya yang akan tetap di bawah kedaulatan NKRI," ujar Sora Lokita lewat surat elektronik, Rabu (26/8/2009).
Karena, jelas Lokita, penjualan tanah atau pulau Indonesia kepada pihak asing adalah menyalahi aturan. Sejak tahun 1960 melalui UU 4 Prp/1960 tentang Agraria, Indonesia sudah menetapkan apa yang disebut sebagai garis pangkal kepulauan Indonesia. Garis pangkal ini diperbaiki dengan PP No 38 tahun 2002 dan PP No 37 tahun 2008.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
WNA yang berminat untuk membeli pulau-pulau di Indonesia hanya akan berhak atas Hak Guna Bangunan (HGB) atau hak pakai yang nantinya akan berbentuk seperti penanaman investasi saja bila memang pulaunya akan dikelola. Tentunya, hal ini harus memenuhi peraturan perundangan dari tingkat nasional atau pun daerah yang bersangkutan.
Dia menambahkan, yang patut digarisbawahi terkait dengan masalah ini adalah, dengan menanamkan investasi atau pun 'membeli' pulau tersebut, tidak akan mengubah status kedaulatan pulau itu sebagai salah satu pulau yang sah dari NKRI. Masalah ini adalah masalah pengelolaan wilayah yang lepas dari unsur kehilangan kedaulatan negara.
"Sebagai contoh dari praktik ini adalah resort-resort bintang 5 yang ada di kawasan Lagoi, Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Lebih dari 2.000 hektar kawasan Lagoi dikelola sepenuhnya oleh investasi asing. Fakta ini tidak serta merta mengubah kawasan Lagoi sebagai wilayah negara asing. Lagoi tetap wilayah NKRI," jelas pemegang gelar master hukum internasional dari Universitas Sydney ini.
Namun demikian, pemberitaan mengenai penjualan pulau Indonesia ini, menurutnya, dapat dijadikan momentum pembelajaran bahwa seharusnya tidak ada lagi keraguan perihal kewilayahan Indonesia. Pengelolaan pulau-pulau yang terpencil adalah suatu hal yang baik daripada pulau-pulau tersebut dibiarkan tanpa dikelola.
"Namun semuanya tentu perlu sesuai dengan ketentuan yang berlaku di hukum nasional maupun internasional," pungkas pria yang bergabung ke Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakorsurtanal) sejak 2003 ini.
(anw/nrl)