Lika Liku Joko Tjandra dan Kasus Cessie Bank Bali

Lika Liku Joko Tjandra dan Kasus Cessie Bank Bali

- detikNews
Rabu, 17 Jun 2009 15:50 WIB
Jakarta - Joko Soegiarto Tjandra, terpidana kasus hak tagih (cessie) Bank Bali telah mangkir dari panggilan Kejaksaan, Selasa (16/6/2009) kemarin. Sejatinya, mantan Dirut PT Era Giat Prima (EGP) itu akan dieksekusi ke LP Cipinang.

Bersama mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Syahril Sabirin, pria yang juga memiliki nama Tjan Kok Hui itu telah diputus 2 tahun penjara oleh Mahkamah Agung (MA). Selain itu, Joko Tjandra juga diwajibkan membayar denda Rp 15 juta.

Bagaimana keterlibatan pria kelahiran Sanggau, Kalimantan Barat ini dalam kasus yang melibatkan banyak pihak ini? Berikut kronologi menurut Indonesian Corruptions Watch (ICW).

11 Januari 1999


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Perjanjian pengalihan (cessie) tagihan piutang antara pihak Bank Bali (Rudy Ramli dan Rusli Suryadi) dan Joko S Tjandra selaku Direktur PT Persada Harum Lestari mengenai tagihan piutang Bank Bali terhadap Bank Tiara sebesar Rp 38.000.000.000 dibuat. Penyerahan kepada BB selambat-lambatnya tanggal 11 Juni 1999.

Dibuat juga perjanjian pengalihan (cessie) tagihan piutang antara dua pihak yang sama. Namun dalam perjanjian ini, Joko Tjandra berperan sebagai Direktur PT Era Giat Prima (EGP). Perjanjian ini mengenai tagihan piutang Bank Bali terhadap BDNI dan BUN dengan nilai pokok seluruhnya sebesar Rp 798.091.770.000. Penyerahan kepada BB selambat-lambatnya 3 bulan sejak tanggal perjanjian ini dibuat.

Direktur Utama Bank Bali Rudy Ramli dan Direktur Firman Sucahya menandatangani perjanjian cessie dengan Direktur Utama PT EGP Setya Novanto. Melalui perjanjian itu, BB menjual seluruh tagihan pinjaman antarbanknya kepada BDNI, BUN (keduanya dilikuidasi 1998), dan Bank Bira pada PT EGP. Total tagihan pinjaman antarbank milik Bank Bali kepada BDNI, BUN dan Bank Bira mencapai Rp 3 triliun.

8 September 1999

Laporan hasil audit terhadap PT Bank Bali oleh PricewaterhouseCoopers (PwC) terbit. Tata cara yang berlaku untuk GGS pada BPPN dan BI tidak cukup untuk menghindari terulangnya kejadian serupa. PwC mengusulkan agar dibuat metode terpadu untuk menyelamatkan dana yang sudah diselewengkan pada masa lalu.

PwC menganjurkan dilakukan investigasi atas pihak-pihak tertentu, seperti menteri, pejabat senior pemerintah, oknum anggota DPR dan partai, serta pelaku bisnis terkemuka, namun tidak dianjurkan atas individu tertentu.

27 September 1999

Perkara korupsi cessie Bank Bali yang melibatkan Joko Tjandra mulai diusut oleh Kejaksaan Agung sesuai dengan laporan dari Bismar Mannu, Direktur Tindak Pidana Korupsi kepada Jaksa Agung.

29 September 1999 - 8 November 1999

Joko ditahan oleh Kejaksaan.

9 November 1999 - 13 Januari 2000

Joko Tjandra menjadi tahanan kota kejaksaan.

14 Januari 2000 - 10 Februari 2000

Joko kembali ditahan oleh kejaksaan.

9 Februari 2000

Kasus cessie skandal Bank Bali dengan Terdakwa Joko Tjandra diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

10 Februari 2000 - 10 Maret 2000

Berdasarkan ketetapan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Joko Tjandra kembali menjadi tahanan kota.

6 Maret 2000


Putusan sela hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan dakwaan jaksa terhadap kasus Joko Tjandra tidak dapat diterima. Joko Tjandra dilepaskan dari tahanan kota. Jaksa mengajukan permohonan
perlawanan ke Pengadilan Tinggi.

31 Maret 2000

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengabulkan permohonan perlawanan ke Pengadilan Tinggi. Memerintahkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memeriksa dan mengadili Joko Tjandra.

19 April 2000


Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menunjuk Soedarto (hakim ketua majelis), Muchtar Ritonga dan Sultan Mangun (hakim anggota) sebagai Hakim yang memeriksa dan mengadili Joko Tjandra.

April 2000 – Agustus 2000


Upaya berhasil. Proses persidangan Joko Tjandra selaku Direktur Utama PT Era Giat Prima mulai bergulir. Joko Tjandra didakwa jaksa penuntut umum (JPU) Antasari Azhar telah melakukan tindak pidana Korupsi dalam kasus Bank Bali.

Fakta-fakta menunjukkan, pemindahbukuan dari rekening bendaharawan negara ke Bank Bali berdasarkan penjaminan transaksi PT BDNI terhadap Bank Bali menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 904.642.428.369.

Joko Tjandra pun dituntut hukuman 1 tahun 6 bulan atau 18 bulan penjara. Joko juga dituntut membayar denda sebesar Rp 30 juta subsider enam bulan kurungan, serta harus membayar biaya perkara sebesar Rp 7.500.

Sedang uang sebesar Rp 546 miliar milik PT Era Giat Prima yang berada di escrow account Bank Bali agar dikembalikan pada negara.

28 Agustus 2000


Majelis hakim memutuskan Joko S Tjandra lepas dari segala tuntutan (onslag). Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan, sebenarnya dakwaan JPU terhadap perbuatan Joko Tjandra terbukti secara hukum. Namun perbuatan tersebut bukanlah merupakan suatu perbuatan pidana melainkan perbuatan perdata. Akibatnya, Joko Tjandra pun lepas dari segala tuntutan hukum.

21 September 2000


Antasari, selaku JPU mengajukan kasasi.

26 Juni  2001

Majelis hakim agung MA melepaskan Joko S Tjandra  dari segala tuntutan. Putusan sendiri  diambil dengan mekanisme voting dikarenakan adanya perbedaan pendapat antara hakim Sunu Wahadi dan M Said Harahap dengan hakim Artidjo Alkotsar mengenai permohonan kasasi Joko Tjandra yang diajukan oleh JPU.

12 Juni 2003

Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan mengirim surat kepada direksi Bank Permata agar menyerahkan barang bukti berupa uang Rp 546,4 miliar. Pada hari yang sama, direksi Bank Permata mengirim surat ke BPPN untuk meminta petunjuk. Permintaan ini akhirnya tak terwujud dengan keluarnya putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang memenangkan BPPN.

17 Juni 2003

Direksi Bank Permata meminta fatwa MA atas permintaan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan di atas.

19 Juni 2003

BPPN meminta fatwa MA dan penundaan eksekusi keputusan MA (Juni 2001) yang memperkuat keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang membebaskan Joko Tjandra. Alasannya, ada dua keputusan MA yang bertentangan.

25 Juni 2003

Fatwa MA untuk direksi Bank Permata keluar. Isinya menyatakan MA tidak dapat ikut campur atas eksekusi Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.

1 Juli 2003

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Antasari Azhar menyatakan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dinilai menghambat proses hukum yang sedang dijalankan oleh Kejaksaan Agung selaku pihak eksekutor.

2 Maret 2004

Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan memanggil Direktur Utama PT Bank Permata Tbk, Agus Martowardojo. Pemanggilan ini terkait dengan rencana eksekusi pencairan dana senilai Rp 546 miliar untuk PT Era Giat Prima (EGP) milik Joko Tjandra dan politikus Partai Golkar Setya Novanto.

Oktober 2008


Kejaksaan Agung mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kasus korupsi cessie Bank Bali dengan terdakwa Joko Tjandra ke Mahkamah Agung.

11 Juni 2009

Majelis Peninjauan Kembali MA yang diketuai Djoko Sarwoko dengan anggota I Made Tara, Komariah E Sapardjaja, Mansyur Kertayasa, dan Artidjo Alkostar memutuskan menerima Peninjauan Kembali  yang diajukan Jaksa. Selain hukuman penjara dua tahun, Joko Tjandra juga harus membayar denda Rp 15 juta. Uang milik Djoko Tjandra di Bank Bali sejumlah Rp 546.166.116.369 dirampas untuk negara.

Imigrasi juga mencekal Djoko Tjandra. Pencekalan ini juga berlaku bagi terpidana kasus cessie Bank Bali lainnya, Syahril Sabirin. Mantan Gubernur BI yang juga divonis 2 tahun penjara.

16 Juni 2009


Joko mangkir dari panggilan Kejaksaan untuk dieksekusi. Joko diberikan kesempatan 1 kali panggilan ulang, jika tidak kooperatif akan dinyatakan buron. Diduga Joko saat ini berada di Singapura.

(ken/iy)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads