Hal itu diungkapkan oleh pakar militer Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr Nanang Pamudji dalam diskusi di kantor Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan (PPSK) di Blimbingsari, Terban, Yogyakarta, Jumat (12/6/2009).
"Ini terlepas dari masalah nasionalisme, Indonesia itu kalah melawan Malaysia. Dan Malaysia kenyataannya masih tetap ada," ungkap Nanang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
yakni ketika berperang dengan Belanda saat pembebasan Irian Jaya dan Timor Timur pada tahun 1970-an.
Namun ketika Bung Karno mengumandangkan 'Ganyang Malaysia' untuk mengganyang kekuatan neokolonialisme yang diwakili Malaysia ternyata tidak bisa. Malaysia dan sekutu-sekutunya ternya masih tetap ada sampai sekarang.
"Malaysia ternyata masih ada dan kuat sampai sekarang. Singapura boleh dikata merupakan negara yang paling kuat di Asia Tenggara untuk persenjataannya. Sekutu-sekutunya seperti AS, Australia juga masih berada di belakang mereka dan terus bermain serta mengawasinya. Bila Indonesia berani berperang lawan mereka dalam sesaat akan habis," jelasnya.
Nanang menambahkan konsep pembangunan pertahanan dan kemiliteran Indonesia buruk karena tidak ada perencanaan yang matang. Kasus sengketa Ambalat dengan Malaysia hendaknya dapat menjadi review politik pertahanan Indonesia ke masa depan.
"Harus ada review ulang konsep pertahanan kita terutama mengenai konsep jangka pendek, menengah dan panjang, tidak boleh sesaat saja. Kita tidak bisa hanya berpikir soal wilayah Ambalat saja, wilayah Indonesia itu luas" kata Nanang.
Meski Indonesia sudah mempunyai buku putih mengenai pertahanan dan keamanan
lanjut Nanang, harus perbaikan secara menyeluruh yang fokus pada penangkalan. Namun buku putih itu hanya kalangan militer saja yang mengtahui. Padahal kalangan sipil terutama akademisi perlu diajak untuk membahasnya.
"Kalau ditanya untuk dijabarkan, mereka menjawab tidak bisa. Itu rahasia negara. Padahal dimana-mana menteri pertahanan itu dari sipil, mereka juga ikut merumuskan," papar staf pengajar Fisipol UGM itu.
Dia mengatakan pembelian atau pengadaan peralatan atau persenjataan militer di dunia ketiga termasuk Indonesia bukan semata-mata untuk pertahanan dan keamanan. Namun lebih banyak untuk mendapatkan komisi karena banyak broker-broker senjata yang ikut bermain.
Ada banyak kasus seperti itu terjadi di negara dunia ketiga seperti di Indonesia, Thailand dan Timur Tengah. Komisi yang didapatkan juga sangat besar.
"Lihat saja Adnan Kashogi di Arab yang dilindungi AS, di Indonesia zaman Orde Baru juga ada seperti itu. Yang jadi broker juga banyak dari lingkaran keluarga Soeharto. Dan kasus-kasus sekarang juga banyak melibatkan broker-broker senjata dari Indonesia," pungkas dia.
(bgs/nwk)