Demokratisasi, di Manakah Peran Pemimpin Informal?

Interfaith Dialogue RI-Russia

Demokratisasi, di Manakah Peran Pemimpin Informal?

- detikNews
Minggu, 31 Mei 2009 21:00 WIB
Moskow - Di tengah proses demokrasi yang semakin matang, di manakah peranan yang dapat dimainkan oleh para tokoh informal? Adakah tempat dan seberapa jauh mereka dapat ikut mengawal kehidupan bermasyarakat?

Beberapa pertanyaan dasar itulah yang akan mewarnai pertemuan Interfaith Dialogue RI-Russia di Moskow yang akan dimulai besok, 1-2 Juni 2009.

Menurut Wakil Kepala Perwakilan RI Moskow, A. Agus Sriyono, aktor demokrasi dalam suatu masyarakat berkembang tidak hanya dibatasi oleh tiga institusi seperti yang dikemukakan oleh Montesqieu (eksekutif, legislatif dan yudikatif).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebab mengandalkan sistem ini tanpa memberikan porsi tepat bagi para pemimpin informal maka sistem yang dibangun bisa mengalami kendala berat. "Menafikan peran ulama misalnya adalah sebuah ketersesatan,” ujar Sriyono.

Dalam dialog tersebut akan hadir berbagai tokoh informal dari kedua belah pihak. "Mereka akan menyoal dan mengupas besaran peran yang mungkin dimainkan dalam rangka peningkatan kemaslahatan umat," Koordinator Pensosbud M. Aji Surya kepada detikcom hari ini (31/5/2009).

KH. Hasyim Muzadi (NU) dan pendeta Dr. Nathan Setiabudi misalnya, akan mengemukakan peran NU dan  gereja bagi pembangunan Indonesia. Sedangkan Pendeta Georgy Ryabykh dari Keuskupan Ortodoks dan Rektor Universitas Islam Moskow Prof. Dr. Marat Murtazin akan menyampaikan masalah pengembangan sikap toleransi di Rusia.

Konflik dan Kemiripan

Disebutkan bahwa contoh konflik yang diduga dipicu oleh keyakinan tertentu seperti di Ambon dan Poso, maka sistem yudisial diperkirakan tidak dapat menyelesaikan masalah.

Berbagai aktor dari pemimpin informal  harus dilibatkan. Mereka bukan saja tokoh agama, tetapi juga budayawan dan bahkan para ilmuan yang memilki pengaruh kuat di masyarakat. Inilah sebuah konsekuensi dari masyarakat yang masih bersifat paternalistik.

Konflik horizontal yang pernah terjadi di Indonesia juga dialami oleh negara lain yang  masyarakatnya memiliki tingkat kompleksitas tinggi sebagai konsekuensi dari adanya multietnis, kepercayaan dan gap pendidikan. Indonesia dan Rusia memiliki kemiripan sehingga tukar menukar pengalaman merupakan suatu hal yang sangat positif.

Lain Ladang, Lain Belalang

Dari sisi pemerintahan, Dirjen Informasi dan Diplomasi Publik Deplu dan Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Aleksey Borodavkin akan mewakili pihak pemerintah dalam menyuarakan peranan yang dimainkan secara bersama-sama kalangan tokoh informal.

Pemerintah ditengarai memiliki peranan sentral dalam menfasilitasi pembangunan demokrasi dan sekaligus menyelesaikan berbagai konflik horizontal dalam masyarakat majemuk.

Perbedaan sistem kemasyarakatan serta faktor sejarah membuat peranan pemimpin formal di negara seperti Indonesia dan Rusia berbeda dengan di Amerika Serikat dan Eropa Barat.

“Lain ladang lain belalang, lain negara lain pula caranya. Semua benar dan tidak perlu saling menyalahkan,” ujar Duta Besar Hamid Awaludin menimpali. (es/es)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads