"Black box yang dipakai sebagai alat bukti untuk vonis (Marwoto) tidak tepat. Seharusnya itu bisa vonis bebas, itu yang harus dilakukan diusahakan pembela," ujar Jusman usai meresmikan 7 Sarana Alat Pembentukan Mental(Outbond) di Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) Curug, Tangerang, Kamis (30/4/2009).
Karena, imbuhnya, kotak hitam baik Cockpit Voice Recorder (CVR), Flight Data Recorder (FDR) dan segala temuan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) tidak bisa dijadikan barang bukti di persidangan menurut UU Penerbangan. Investigator KNKT juga tidak bisa dihadirkan sebagai saksi di pengadilan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia berharap dengan terbitnya UU Penerbangan yang baru polisi tidak bisa serta merta membawa pilot menjadi tersangka pidana. Karena UU Penerbangan sudah mengamanatkan yang menangani kecelakaan tahap pertama adalah KNKT. Bila ada indikasi kriminal maka KNKT harus menyerahkan pada polisi. Bila tidak ada indikasi kriminal, maka awak penerbangan diserahkan kepada Majelis Profesi Penerbangan (MPP) untuk investigasi lebih lanjut dan diberikan sanksi administratif.
"Mudah-mudahan Marwoto ini menjadi kasus yang pertama dan terakhir," harap dia.
Marwoto Komar divonis 2 tahun potong masa tahanan pada 6 April 2009 lalu. Vonis hakim itu lebih ringan dari tuntutan jaksa, 4 tahun penjara. Dalam persidangan itu, kotak hitam dijadikan barang bukti.
Marwoto dinilai lalai sehingga menyebabkan pesawat Garuda GA 200 mengalami kecelakaan di Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta. Marwoto dianggap melanggar pasal 479 g huruf (b) dan huruf (a) KUHP. (nwk/irw)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini