Pada saat dicopot dari jabatan sebagai Direktur Utama (dirut) Pertamina, 9 Maret 1976, dia dituduh berbagai kelompok hendak mendirikan negara dalam negara dan akan menggantikan posisi presiden Soeharto.
Hal itu diungkapkan sejarawan Dr Anton Haryono dalam acara bedah buku 'Ibnu Sutowo : Saatnya Saya Bercerita' di gedung Pusat Antar Universitas (PAU) Universitas Gadjah Mada (UGM) di Jl Teknika Utara, Yogyakarta, Jumat (20/3/2009).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Anton, sosok Ibnu Sutowo dan sejarah berdirinya Pertamina harus diakui memang tidak bisa dipisahkan dari peranannya. Namun setelah turun dari jabatan dirut, pandangan negatif terhadapnya masih terus menyertai.
"Sistem kontrak bagi hasil di bidang perminyakan yang diperjuangkan Ibnu Sutowo itu sekarang tampaknya masih urgen untuk dibicarakan disaat Indonesia mengalami krisis energi dan perekonomian," ungkap dia.
Anton mengatakan pijakan Pasal 33 UUUD 1945 itu tampaknya melekat kuat dalam diri Ibnu Sutowo sehingga dengan sekuat tenaga membangun industri perminyakan untuk membiayai Indonesia.
"Amanat pasal 33 UUD 1945 dan keteguhan sikap Ibnu Sutowo dan Permina (Perusahaan Minyak Nasional) waktu itu mencerminkan adanya perasaan nasional dan sikap patriotik tanpa terjebak pada chauvinisme," katanya.
Namun kata dia, hingga pertengahan tahun 1970 saat Soeharto menjadi presiden, suara sumbang dan kecaman terhadap pribadi Ibnu terus terjadi. Pertamina dituduh tidak mau tuntuk pada peraturan pemerintah, dikuasai segelintir orang dengan sistem manajemen tertutup, menghambur-hamburkan uang untuk membeli kapal tanker,
mendirikan Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) dan lain-lain.
"Tuduhan itu tidak hanya dari dalam negeri tapi juga pihak luar negeri dari para kontraktor asing yang ingin masuk kembali ke bisnis perminyakan di Indonesia. Diaย dituduh akan mendirikan negara dalam negera hingga ingin menggantikan posisi Soeharto sebagai presiden," katanya.
Meski Ibnu Sutowo sudah dicopot dari jabatan dirut Pertamina katanya, setelah itu banyak orang mengakui urgensinya sistem kontrak bagi hasil yang diperjuangkan Ibnu. Anton menambahkan periode sejarah tahu 70-an banyak hal yang belum diungkap dan sengaja dibuat buram. Sejarah hanya dilihat dari satu sisi penguasa saja.
"Adanya buku ini ada hal dan sisi lain yang bisa dilihat. Sejarah ekonomi Indonesia melihat adanya perbedaan tajam antara kelompok teknokrat dan nasionalis," pungkas dia.
(bgs/djo)