Kala itu, Mayor Luhut Pandjaitan adalah Komandan Den 81/Antiteror, sedangkan Prabowo adalah wakil Luhut dengan pangkat kapten. Suatu pagi, Luhut datang ke markasnya di Cijantung dan kaget karena pasukan dalam keadaan siaga. Ternyata pasukan siaga atas perintah Prabowo yang mendengar LB Moerdani akan melakukan kudeta. Luhut lalu membubarkan pasukan dan menegaskan tak ada kudeta.
Dalam buku Sintong Panjaitan berjudul Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, disebutkan, seandainya Luhut terlambat datang ke Mako Den 81/Antiteror pada pagi hari itu, dapat dipastikan penculikan para perwira tinggi ABRI terlaksana.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sebenarnya Luhut pantas mendapat 'bintang' karena dia telah berhasil menggagalkan rencana penculikan para perwira tinggi ABRI yang berdampak nasional," komentar Sintong di halaman 463.
Namun faktanya karier Luhut mentok. Zaman Soeharto dia hanya sampai letnan jenderal dan tak pernah menjabat panglima. Baru setelah Soeharto lengser, Luhut mendapat anugerah bintang menjadi jenderal dan diangkat sebagai Dubes Singapura lalu Menperindag era Presiden Gus Dur.
Dalam buku itu tertulis bahwa Luhut juga sempat dituduh hendak melakukan kudeta pada Soeharto sehubungan dengan pembangunan proyek intelijen teknik Den 81. "Matilah aku...Waduh! Jadi rempeyeklah aku," kelakar Luhut.
Luhut juga dituduh sebagau anak emas Benny Moerdani sehingga lantas disingkirkan. Luhut dilaporkan macam-macam kepada Soeharto sehingga ia menjadi pemegang kartu mati.
(nrl/iy)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini